Tips BookingHostel pas Backpackeran di Luar Negeri


Ini saran saya buat kamoe-kamoe yang senang jalan-jalan murah ala backpacker, untuk membooking hostel dan kawan2nya:
  • Untuk masa liburan, Sabtu Minggu pesanlah jauh-jauh. Bukan masalah engga ada hostel lain (penginapan itu pasti ada kalau rajin nyari dan jalan, tapi sudikah kamu jalan-jalan bawa tas berat apalagi kalau dapet penerbangan malem kalau ternyata hostel kamu sudah penuh? Seringkali untuk hostel dengan review baik, mereka penuh terisi saat liburan (misal kalau Song Kran Festival di Bangkok bulan April, atau Tet di Vietnam, atau Lebaran di Malaysia).
  • Punya cadangan penginapan (minimal tahu alamat penginapan sekitar yang dekat dengan penginapan utama). Sebab pernah kejadian, di penginapan kami menemui wisatawan yang sudah booking namun kamar yang mereka pesan masih ditempati orang lain (pemilik hostel ya pasti setuju-setuju aja toh kalau wisatawan sebelumnya bermaksud memperpanjang sewa kamar? Dan tidak semua penginapan punya cadangan kamar lho). Walhasil jam 11 malam wisatawan Malaysia tersebut (5 orang) yang sudah naik ke lantai 3 bawa carrier berat turun lagi ke lobi sambil marah-marah sebab kamarnya masih ada yang mengisi. Hostel-hostel murah biasanya dikelola dengan manajemen sederhana sehingga seringkali lupa dengan catatan kedatangan wisatawan.
  • Minta no HP si pengurus hostel, minimal 2 orang. Pernah kami pulang jam 12 malam sehabis jalan-jalan di Chiang Mai dan kartu magnetic kami (untuk membuka pintu) menemui masalah. Terpaksa kami menunggu di depan pintu hampir 30 menit. No telepon yang diberikan tidak dapat dihubungi, mem-bel hostel tidak ada yang jawab, untung kami mendapatkan nomor satunya lagi dari kertas yang tertempel di pintu bawah (dioper-oper juga karena si penanggung jawab rumahnya agak jauh dari hostel kami tapi lumayanlah ditanggapi dengan baik kekesalan kami).
  • Beli nomor HP lokal kalau tinggal lebih dari beberapa hari. Kembali lagi ke point nomor 3... bayangkan biaya yang dihabiskan pulsa internasional kalau kita sampai menelepon lokal di luar negeri. Stressss.
  • Cari hostel yang dekat dengan jalur transportasi masal. Lebih baik mahal sedikt dan mudah mengakses transportasi dibanding murah tapi jauh, sehingga menghabiskan biaya transportasi nantinya atau energi (cape) jalan kaki. Sori ya bro n sis, kalau waktu kita terbatas dan misal jam 11 malam kita masih harus jalan kaki 20 menit (sementara siang-malamnya juga sudah kita habiskan berjalan kaki) kayanya gempor juga lho... (pengalaman pribadi neh di Bangkok, yang lokasinya tertulis 10 menit walk from Lumphini Station  padahal diitung2 hampir 20 menit deh berjalan dan nembus gang sini situ). Tips ini tidak berlaku untuk yang perjalanannya memang mencari lokasi yang tenang dan damai.
  • Cari hostel dengan review yang baik dan dengan jumlah review yang juga banyak (kalau sedikit, curiga kalau memang diisi oleh temannya si pemilik hostel). Review adalah hasil subyektif para penginap, dan boleh menjadi acuan terpercaya.
  • Boleh juga cek dapat fasilitas apa: wifi? Makan pagi? Sewa sepeda gratis? Safety box?
  • Pada hostel terutama dengan tipe dormitory awasi barang bawaan. Jangan pernah meninggalkan barang berharga. Bule sekamar juga bisa klepto bro. Kalau bukan tipe dormitory (misal single room), tukang bersih-bersih juga bisa klepto bro sis (kasus di Pham Ngu Lao street, Saigon duit saya pernah ilang sebab istri yang baru pernah bacpackeran ninggalin duit di wastafel kamar mandi – walhasil ilang saat dibersihkan). Mau urus duit ilang bisa berabe kalo diluar negeri walau cuma ilang seratus ribuan sebab kendala bahasa bro, masa mau maki-maki pake bahasa kita sedang dia juga ga ngerti kan?
  • Di hostel, baik-baik dengan sesama bacpacker. Kami sering menemui bahwa rasa kesetiakawanan para backpacker sangat besar. Kami berbagi cerita, berbagi barang bawaan kecil-kecil (misal kopi, teh sachet, pernak-pernik kecil dan sebagai pertukaran kami juga mendapatkan hal yang sama dari mereka, selain cerita tentunya).
  • Ga yakin hostel atau punya planning lain, bookinglah untuk 1 malam saja (kedatangan). Gunakan hari kedua untuk mencek keadaan sekitar syukur-syukur dapet hostel yang lebih enak. Jangan membooking keseluruhan liburan di 1 hostel yang sama sebab kalau hostelnya tidak enak agak sulit membatalkan pemesanan (ada penalti biasanya, kecuali si pemilik memaklumi – tapi keadaan kita lebih lemah biasanya).
  • Saya suka bawa benda-benda remeh tapi penting ini di hostel: 1 universal charger sambunhin dengan 1 kaki tiga supaya bisa charge 3 alat sekaligus, tali rafia sepanjang 5 meter (beli aja 1000 di warung bro) buat jemur, kantong plastik yang rada tebel (1 atau 2) buat nyuci, pemanas air teko plastik (beli 15 ribu bro di Giant) buat nyeduh kopi, klip kertas (buat jepit baju). Buku Lonely Planet kecuali ngerasa penting banget ga usahlah dibawa sebab berat. Print aja dari internet, kecilin hurufnya – sekalian buat dicoret-coret belakangnya kalau kosong.
Wokeh segitu dulu tipsnya. Selain hostel bisa juga teman-teman menginap gratisan apabila menjadi anggota misal www.couchsurfing.com (saya sampai sekarang belum pernah inap walau sudah beberapa kali teman dari luar negeri menginap di rumah saya – beberapa kali saya coba cuma belum beruntung sebab yang punya rumah ingkar janji (membatalkan janji, sibuk bekerja misalnya). Biasanya saya suka memakai fasilitas seperti www.booking.com  (gada booking fee, kita bayar saat tiba di hostel, tapi apabila dibatalkan terlalu dekat ke hari H maka kartu kredit kita akan kena charge). Selain itu ada juga www.agoda.com atau www.hostelworld.com (dua-duanya juga saya pernah coba). Seringkali harga yang ditawarkan situs ini lebih murah dibanding booking langsung hostel. So, it’s worth a try.

Read Users' Comments (0)

Kagok-Kagokan Naik Motor di Vietnam

Kagok, begitulah yang dirasakan oleh saya saat berjalan kaki meyeberangi jalan di sekitar Ho Chi Minh City (dulu: Saigon). Bagaimana tidak, sepeda motor berlalu lalang selang-seling, terlebih di jam-jam sibuk dan jumlahnya yang sangat banyak bagaikan kumbang-kumbang yang berseliweran. Jadi heran, karena dengan lalu lintasnya yang jarang berpolisi dan dengan arah yang suka-suka saya belum menemukan para pengendara saling bertabrakan. Muka mereka pun lurus-lurus saja, tidak terlihat marah saat disalib atau misal karena dipapas motor lain dari arah yang berlawanan. Sudah biasa kali ya?
Lalu lintas di Kota Ho Chi Minh (Saigon), didominasi oleh sepeda motor
Biasanya jalan kaki menjadi kebiasaan saya kalau melakukan backpacking. Umumnya saya jalan dari pagi dan baru berhenti malam hari karena biaya menggerakkan kaki yang murah, cukup disogok dengan sedikit makanan, dan bisa dipakai satu hari penuh.

Cuma di Vietnam ini, kebiasaan jalan kaki cukup terganggu terutama saat bertemu persimpangan dimana saya harus menyeberang. Nyebrang jalan, tengok kiri kanan menjadi menu rutin sepanjang penyebrangan. Hati ini tidak tenang kalau belum menginjak trotoar lagi. Tidak seperti di Indonesia, disini tidak ada standar kalau arah motor atau mobil haruslah selalu dari arah yang disepakati undang-undang.
Kekagokan saya bertambah double ataupun triple saat mengendarai sepeda motor, kali ini di Da Lat, sebuah kota di ketinggian 1.500 meter yang indah, dimana bebungaan liar tumbuh sepanjang jalan, dan mawar merah kuning dan orange menghias garis batas di jalan. Kalau di Saigon saya nyerah deh ga ada nyali buat pakai motor (takut emosi dan nabrak), tapi saya pikir Da Lat ini kan kota yang kecil, so mungkin saya bisa adaptasi lebih baik di tempat yang lebih sepi ini. Jadi saya sewa motor bebek buat jalan-jalan.

Jalan utama di Da Lat: ingat berkendaraan di sebelah kanan yaaa...
Sehubung bekas jajahan Perancis, mengemudi di Vietnam adalah di sebelah kanan, dan untuk menyusul dari sebelah kiri. Sebagai orang Indonesia keadaan ini menyulitkan karena berkebalikan dengan keadaan di sini (Polisi sini berpendapat baiknya adalah naik motor di kiri, kalo mau nyusul dari kanan).
Beberapa kali (biasanya sehabis keluar dari suatu tempat) saya langsung ambil ruas kiri ngikutin kebiasaan di Indonesia. Walhasil, baru sadar waktu akan marah liat orang Vietnam nyetir motornya di kanan. Padahal yang salah adalah saya.
Lah kok kita yang salah lalu mau marah sih ? Itulah kelemahan saya: memang saya gampang marah kalau naik motor sebab beradaptasi dengan kerasnya lalu lintas kalau di Bogor tempat saya dilahirkan (walau ternyata keadaannya tak sekeras disini).
Di negeri yang ramah ini, akibat perbuatan saya, saya cuma dilihat oleh Vietnamese ini – dia tidak marah, dan melihatnya pun cuma sekilas. Perkiraan saya dua: mereka bangsa ramah yang toleran kepada saya, atau karena nyetir salah arah adalah biasa, karena juga dilakukan oleh mereka sendiri dengan caranya masing-masing.
Emosi marah ini sempat juga muncul (sebenarnya bukan marah tapi kesal sedikit) karena masalah bensin. Lah iya, saya menyewa motor satu hari seharga 5 USD dari jam 7 pagi sampai 9 malam, lalu pas ngisi bensin (di Da Lat) oleh si ibu ditagih 60.000 VND (dong) alias 3 USD. Padahal ngisinya bentar banget, kurang dari 2 liter rasanya; satu setengah liter paling banyak.
Mahal banget sih bensinnya, Man? Secara disini itu cuma Rp 4.500 / lt. Dengan Rp 30.000 / 3 USD / 60.000 VND saya bisa isi bensin sekitar 7 liter disini.
Danau Xuan Huong, di tengah kota Da Lat
Merasa ditipu, selama nginep di motel (harga 14 USD / malam, dengan 2 tempat tidur: saya dan istri tercinta) saya selalu browsing internet via BB istri. Cuma dapat kabar di halaman pertama google: Masyarakat Vietnam Shock atas Kenaikan Harga BBM – tidak dapat diteruskan browsingnya karena cuma dapat percikan Wifi dari motel, dan menyebabkan loading BB nya lama banget dan bikin putus asa.
Saya teruskan pencarian itu saat mencapai Indonesia kembali. Penasaran karena cuilan berita yang kurang lengkap tersebut. Dengan bantuan Profesor Google, saya dapati bahwa harga bensin di Vietnam adalah berkisar antara Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Amin ucap saya, agak puas.  Jadi kalau saya mengorbankan Rp 30.000 untuk bensin saya pikir semoga waktu itu diisi 2 liter lebihlah ma si ibu bensin.
Pikiran ini ditentang lagi oleh logika saya. Hati mau memaafkan, tapi kepala menentang, sebab kalau dilihat tangki bensin motor yang saya tumpangi kecil. Masa iya tangki motor sekecil itu memuat bensin kira-kira 2,3 liter?
Pikiran saya lalu berusaha agak baik lagi sama sang hati yang berusaha memahami. Pikiran lalu berkata pelan-pelan, katanya: mungkin jenis BBM di Vietnam agak banyak, motor kamu diisi ma bensin kualitas pertamax jadi harganya agak mahal.
Iya ajalah, demi keindahan dataran tinggi Da Lat.
Saya sudah diberikan jasa oleh motor yang saya tumpangi ini selama ngalor ngidul cari-cari titik wisata di Da Lat, sudah sepantasnya ia diberi minuman yang setimpal (sekualitas minuman yoghurt dari Da Lat). Kalau ada lebih, anggaplah sumbangsih saya untuk rakyat Vietnam, setelah peperangan bertahun-tahun yang menyengsarakan serta atas kerajinan dan keuletan mereka (Vietnamese ini rajin-rajin banget dan akan saya ceritakan di story yang lain ya).  
Salam dari atas motor gaul peminum yoghurt. 
 
 http://indras-important.blogspot.com/2013/04/kagok-kagokan-jalan-di-vietnam.html
 

Read Users' Comments (1)comments

Penduduk Vietnam yang Rajin

Boleh miskin, tapi tetap rajin. Begitulah pandangan saya terhadap penduduk Vietnam. Apabila kata miskin kurang cocok dipakai serta perlu diperhalus, bolehlah saya menambahkan kata “agak miskin” disini sebab apabila saya perbandingkan dengan pembangunan di negeri saya, Indonesia maka sarana dan prasarana di negeri saya nampaknya lebih lengkap dan maju.
Saya sudah 2x berkunjung ke Vietnam, pada tahun 2010 dan belum lama ini – April 2013 – semuanya melalui perjalanan ala backpacker. Kalau yang pertama saya hanya travel di kota Saigon (Ho Chi Minh City) saja dan melanjutkan ke Thailand. Yang kedua adalah berkeliling di kota Saigon dengan tambahan pelesir ke kota dataran tinggi Da Lat. Saigon dan Da Lat, dua-duanya mewakili wilayah perkotaan besar dan kecil. Untuk wilayah lain, walau keinginan saya sangat besar untuk bisa stay di wilayah model perkampungan atau pantai namun sampai saat ini belum bisa terwujud karena keterbatasan waktu dan biaya.
Penduduk Vietnam adalah penduduk yang cenderung slim bentuk tubuhnya (jarang yang subur dan berisi, terutama perempuannya). Di mana banyak kaum perempuan berjalan-jalan berpakaian Ao Dai (pakaian perempuan Vietnam) baik di sekolah atau jalan-jalan biasa. Mengenakan caping serta penutup hidung dari kain, serta bersepeda motor atau bersepeda goel. Lainnya yang saya ingat adalah tulisan-tulisan dua sampai tiga kata berisikan kata-kata nguyen, puc, loc, duc, vang, cong thi dan lain-lain yang tidak bisa saya mengerti.
Membuat semacam martabak, di pinggir jalan
Suatu hal yang menonjol, dan apabila saya diminta menggambarkan satu kata tentang masyarakat Vietnam adalah kata rajin. Kalau boleh memilih kata lainnya adalah ulet. Ya, saya harus menggaris bawahi kata rajin dan ulet sebab terpatri dengan kuat di kepala saya.
Mungkin karena bangsa ini baru saja mengalami penderitaan berperang (tahun 1970an), serta kemudian terjadi perpecahan antar bangsa (Vietnam Selatan dan Vietnam Utara), maka bangsa ini sedang dalam keadaan tersadarkan diri untuk membangun negerinya kembali. Saya menegasikannya dengan keadaan penduduk di negeri saya Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 yang sekarang sedang carut marut dan sibuk saling memakan antar sesama. Mungkin kelamaan merdeka membuat sesorang tidak lagi mampu bersyukur dan bekerja keras ya?
Masalah kerajinan ini dicontohkan oleh berbagai hal, yang dapat kita lihat dengan mata dan kepala sendiri. Sepanjang jalan di Vietnam kita  bisa melihat rumah-rumah memasang etalase untuk  jualan di depan rumahnya, baik apakah itu untuk berjualan minuman, roti banh mi, kedai makan kecil-kecilan, sampai menggelar buah-buahan di trotoar. Bangku-bangku dan meja kecil seadanya digelar di depan rumah, dan nampaknya kebiasaan ini merata minimal di Vietnam Selatan.
Si ibu, sambil nunggu jualan dia kadang merajut juga
Lainnya adalah kemampuan Vietnamese untuk memanfaatkan waktu luang: seperti di Da Lat, mereka merajut dan menyulam sambil berjualan. Dari tukang kue, karyawan cable car, penjual baju... semua memegang jarum dan benang wol, tangannya naik turun merajut sambil menunggu pelanggan.
Di malam hari, saat berjalan-jalan saya melihat juga porsi penjual perempuan berimbang dengan kaum laki-laki. Nampaknya secara tidak sengaja kesetaraan gender tumbuh dengan baik di bangsa ini. Mungkin karena faktor keamanan yang lebih terjamin, budaya penghargaan yang tumbuh pada kaum laki-lakinya, serta pengaruh ajaran spiritual, ditambah dengan desakan ekonomi – semuanya menghasilkan kepercayaan diri bagi kaum perempuan untuk memajukan keluarga serta bangsanya.
Kerajinan lukisan kulit telur, dikerjakan oleh kaujm difable
Bukan saya tidak ingin menceritakan kaum laki-laki, namun dengan melihat sepak terjang kaum perempuan maka rasanya pandangan saya terhadap kaum laki-laki juga sudah ter-cover. Kaum laki-laki memang nampak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tani, buruh dan lain-lain. Tapi begitu juga kaum perempuan.
Di Vietnam yang menarik juga adalah bahwa negara memfasilitasi hak-hak kaum cacat (disable / difable). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pusat pelatihan bagi mereka untuk misalnya, menghasilkan barang-barang kerajinan: lukisan, ukiran, makanan sampai produk-produk berteknologi . Saya sempat mengunjungi satu pusat pelatihan di pinggiran kota Saigon untuk melihat pembuatan kerajinan lukisan dari kulit telur, painting kayu, kerajinan gantungan kunci, dan lain-lain untuk diekspor keluar negeri (mungkin untuk menambah nilai jual, dan nilai tambahnya dapat dipakai untuk membiayai program-program seperti ini).
Mereka ini, kaum difable diberikan kesempatan untuk berkembang – difasilitasi oleh negaranya yang komunis yang membuat kita bertanya-tanya, bukankah seharusnya negara kita yang kapitalis “demokratis” ini lebih baik (lah pejabat kan suka gembar-gembor kalo negara demokratis Pancasilais ini bermartabat, makmur, kesejahteraannya cukup baik ) ?

Ah jadi males deh kalo ngomongin Pancasilais dan  demokrasi dan sebagainya. Jadi inget neh di Indonesia gerombolan FPI merajalela. Ustad pada ngomong sembarangan di mimbar-mimbar, Rhoma Irama mau jadi presiden, korupsi Hambalang, koruptor pada pasang TV kabel di penjara.

Hadeuuuuhh....

 http://indras-important.blogspot.com/search?updated-max=2013-06-17T21:44:00-07:00&max-results=7

Read Users' Comments (0)

Tips Lihat si Kecil-Kecil di Pantai

Jalan-jalan ke pulau selalu menarik bagi saya sebab saya menyukai kehidupan laut dan pantai. Saya agak mampu mengidentifikasi sebagian flora dan fauna laut tersebut sehubungan mempelajarinya di kuliahan tahunan yang lalu. Bahkan pernah juga karena saya waktu SMA keranjingan baca buku pengetahuan, saat ujian ikhtiologi di kuliahan, dimana ada pertanyaan mengenai jenis-jenis ikan beserta nama Inggris, lokal dan Indonesianya, nilai saya berubah jadi A dari seharusnya C, karena bagian bonus yang bobotnya amat tinggi tentang pertanyaan jenis-jenis ikan tersebut dapat saya jawab dengan mudahnya (bangga, sebab hobi saya jalan ke pasar dan bergaul dengan tukang ikan hias berbuah manis jadinya).
Namun di pulau seringkali hal-hal menarik terlewatkan karena ketidaktahuan kita. Pantai yang luas sering dipandang hanya sebagai pantai yang kering dan berpasir. Warna pasirnya hitam, coklat atau putih. Itu saja. Padahal tidak begitu.
Paling mudah untuk melihat makhluk laut adalah dengan mengambil sebongkah karang mati, ataupun tanaman laut (rumput laut atau algae) , membiarkannya pada stoples bening berisi air laut dan menunggu beberapa menit sampai para penghuninya menampakkan diri. Percaya atau tidak, tak lama kemudian para penghuninya akan keluar: dari cacing-cacingan, udang, siput, sampai mungkin ikan kecil yang tadinya nyumput di rongga karang.
Kalau lupa bawa stoples bening, kita bisa pakai botol bekas aqua ataupun pinjam gelas belimbing dari warung kopi.
Kehidupan laut juga menarik di waktu yang berbeda: pagi siang sore malam. Contohnya ubur-ubur, akan bertambah banyak di waktu lebih gelap dan mereka akan lebih mendekat ke arah permukaan air untuk mengejar plankton makanannya. Pagi dan malam adalah waktu yang tepat untuk melihatnya berkelap-kelip indah.
Di siang hari, mereka masih dapat dilihat apabila kita jeli, menyelam sambil menggunakan masker dengan memfokuskan pandangan jarak dekat (misal membayangkan ada jari sejauh 50 cm dari mata kita).
Teman-teman saya biasanya suka heran karena saya dapat menjumpai banyak binatang ini, sedangkan mereka mengaku tidak menjumpainya dimana-mana.
Pasir juga dapat kita gali. Di pantai berterumbu karang, pada jarak 1 meter dari batas air pasang bila kita gali pasirnya, kita mungkin menjumpai kerang-kerangan yang mengubur diri di bawah pasir.
Jadi pantai bukan hanya sunset dan sunrise. Mari belajar pantai dari yang aslinya... Kita bisa kok melihat makhluk-makhluk yang ada di National Geographic channel dari mata kita sendiri.  
 
 http://indras-important.blogspot.com/2013/06/tips-lihat-si-kecil-kecil-di-pantai.html
 

Read Users' Comments (0)

Angkutan di Pa Tong Beach, Phuket

Saat saya berada di Phuket, kami pergi mengunjungi pantai-pantainya. Salah satunya adalah Pa Tong Beach.
Sebelum pergi kami sudah mendapatkan informasi bahwa setelah pukul 17.00 maka tidak ada lagi angkutan umum dari pantai menuju kota.
Jam 16.00 kami bersiap-siap pulang, dan 16.15 kami sudah siap di pinggir jalan. Angkutan umum masih ada jadi kami menunggu sampai ada yang siap-siap berangkat untuk segera ditumpangi. Herannya setelah sekitar 10 menit menunggu, tidak ada yang bergerak, dan baru kami tahu setelah bertanya bahwa sejak pukul 16.00 angkutan sudah off.
Lah... kok jadi maju 1 jam ya dari jadwal?  Jadi kami tertipu saat melihat angkutan yang sedang ngetem, yang awalnya kami kira kalau mereka akan segera berangkat; namun ternyata mereka sedang siap-siap mematikan mesin.
Strategi ini cukup aneh, karena sebenarnya mereka masih mau pergi ke kota kalau disewa seluruh mobilnya yang tentunya jauh lebih mahal daripada bayar biasa. Jebakan batman kata orang kampung saya sih.
Setelah 30 menit menunggu, berharap kalau saja ada angkutan yang masih narik penumpang secara normal kami menyerah. Rupanya kesepakatan ini berlaku secara masal untuk seluruh sopir angkutan, dan sepertinya banyak turis yang terjebak seperti kami. Lalu lalang bingung di pinggir jalan.
Yang sama-sama ditinggal ma angkot di Pa Tong
Hasil akhir adalah kami patungan untuk naik angkutan: 2 turis bule, 3 turis sewarna, 1 orang turis Jepang hasil lobi sana-sini. Tentunya dengan ongkos berlipat dari biasa.
Moral dari cerita ini adalah hati-hati terhadap informasi internet yang sering tidak up to date walau baru diposting 2 bulan lalu, dan jadilah orang yang agak kaya agar kejadian seperti ini tidak terlalu menjadi beban bagi Anda. Kasihan kami contohnya yang lalu hanya bisa beli nasi putih saja dan ayam goreng jalanan, di dua tempat terpisah dengan tujuan penghematan dana kolektif sehubungan kejadian ini.
 http://indras-important.blogspot.com/2013/06/angkutan-di-pa-tong-beach.html

Read Users' Comments (0)

Jam Tangan yamg Berharga

Mengapa saya jadi pakai jam tangan kalau sedang bepergian sekarang? Itu ada alasannya. Beginilah kira-kira.

Dulu saya menganggap bawa HP saja cukup saat jalan-jalan, karena ada jamnya toh? Nah pernah suatu saat saya sedang jalan-jalan di Ca Dai Temple di sekitar Saigon (Ho Chi Minh) anggapan saya terbukti salah.

Di dalam kuil Cao Dai
Jalan-jalan ke Cao Dai Temple (unik, sebab ada beberapa agama besar di situ yang dibungkus jadi satu kepercayaan baru) saya mengikuti tur seharga 7 USD (plus tur ke Cu Chi tunnel markas gerilyawan Viet Cong dulu – exclude tiket masuk). Mudah, murah juga (apalagi kalau setelah sampai Cu Chi tunnel tidak jadi masuk dan cuma nongkrong di dekat loket karcis).

Anyway, pemandu wisata yang bekas guru bahasa Inggris menerangkan tentang keunikan agama Cao Dai tersebut, termasuk berapa lama waktu berkunjungnya.

Setelah sampai dan lama berputar-putar, serta melihat upacara dan permainan musik di dalam kuil, saya cek waktu melalui HP saya. Eh ternyata HP itu tertinggal di hostel (terbawa kebiasaan meninggalkan barang tersebut di ransel pakaian sebab sering tidak diaktifkan kalau pergi keluar negeri, takut kena rooming).

Saya lalu berpanduan kepada jam tangan yang dipakai oleh turis bule sekitar. Sebentar-sebentar saya lihat dan karena upacara keagamaannya belum selesai dan masih banyak kelompok turis berkeliaran saya tenang-tenang saja.

Beberapa selang kemudian sekitar 15 menit dari akhir bertemu, dengan muka masam dan marah munculah teman saya. Ternyata saya sudah mau ditinggal bis tur dan ia menyusul saya balik di kuil dengan tergesa-gesa. Untunglah ia tak lama marah kepada saya karena memang orangnya baik kok.

Saya balik ke bis dan dipelototin si pemandu dan para turis lain yang kesal menunggu saya.

Jadi selanjutnya, dalam perjalanan saya selalu pakai jam tangan. Dari jam tangan karet anak-anak, digital, sampai yang termutakhir Swiss Watch – semua jadi kewajiban kalau sedang berjalan sebab saya tetap memilih mematikan HP saat berjalan (kecuali di tahun-tahun akhir setelah lebih sering membeli kartu SIM lokal untuk melakukan SMS ke rumah, dan dimana provider mobile phone lebih ramah karena meniadakan rooming).

Dan jangan lupa, jam tangan yang dipakai tetangga belum tentu benar penunjukkan waktunya. Mungkin saja dimajukan 15 menit supaya bisa bangun lebih pagi. Time is important in a scheduled tour.

http://indras-important.blogspot.com/2013/06/jam-tangan-yang-berharga.html

Read Users' Comments (0)

Tentang Booking Hostel Kalau Bacpackeran

Hostel yang mendapatkan peringkat yang baik belum tentu aman dan memuaskan pelayanannya. Pengalaman ini adalah berdasarkan pengalaman saya mengunjungi hostel di Ho Chi Minh City (HCMC).

Hostel, Bar dan Makanan di sekitar Jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh
Hotel bernama My My Arthouse ini terletak di Pham Ngu Lao street, jalan no 219 (di dalam jalan no 219 ini banyak terkumpul hostel-hostel lainnya). Saya melakukan booking di hostelworld seminggu sebelumnya dan semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Malah balasan email yang saya terima sangat infomatif walau bukan jawaban secara pribadi karena nampaknya hasil copy paste untuk turis lain. Tapi untuk upaya ini, saya menganggap rating pelayanan yang diberikan via hostelworld tidak salah.

Saya datang malam hari sekitar jam 10 dengan memberikan kabar sebelumnya dan pemilik hostel menjawab kesediaannya untuk tetap membuka pintu hostelnya (ternyata hostel di daerah ini buka 24 jam walau memberikan info hanya buka sampai jam tertentu – nampaknya berkaitan dengan persaingan bisnis yang ketat dengan hostel lain).

Yang saya prihatinkan adalah apa yang terjadi kepada turis lain dari Malaysia. Mereka datang lebih malam daripada saya, dan malangnya kamar mereka masih terisi oleh orang lain. Pemilik hotel mencarikan kamar lain, dan rupanya karena sudah lelah si turis Malaysia angkat barang saja dan setelah naik 3 lantai membawa carrier berat, keempat-empatnya turun lagi. Sambil marah-marah mereka protes karena kamar yang diberikan dibawah standard. Mungkin terlalu kecil dan tidak ber AC.

Salah satu hotel yang saya tempati, nyaman dan bersih
Si ibu yang tidak bahasa Inggris disemprot. Memang benar, yang selama ini berkomunikasi dengan email berbahasa Inggris dengan si turis adalah anaknya, si Hanh. Kasihan juga melihat ibu tua ini disemprot, dan kasihan juga melihat para turis Malaysia ini terlantar malam-malam. Si anak pemilik hostel (Hanh) ditelpon, dan sialnya tidak ada jawaban karena setelah dicari, HPnya ditemukan tertinggal di dekat meja resepsionis.

Yes... shit happened sometimes (buat si Hanh, ibunya dan para turis yang sudah kecapean itu).

Saya ingin menerangkan, kalau sistem pemesanan hostel kebanyakan adalah sistem tradisional. Jadi jika kita sudah melakukan booking, apabila tamu sebelumnya di kamar kita belum keluar maka booking kita pasti dipindahkan ke kamar lain, atau makin malang nasib kita kalau tidak ada kamar kosong sama sekali, bisa terlantar kalau sedang ada di wilayah sepi hostel.


Murah... hostel seharga 6 USD semalam (model dormitory)
Pada hostel tertentu mereka menyediakan kamar khusus untuk kejadian-kejadian seperti ini. Tapi tidak semua hostel punya sistem buffer yang baik.

Jadi saran saya adalah, datanglah (kalau bisa) pada hari yang tidak terlalu malam agar tidak terlalu letih. Kedua, apabila pihak hostel tidak bisa segera memberikan jaminan kamar segeralah cari hostel lain – jangan buang waktu misalnya dengan menunggu, menaruh barang dan jalan-jalan dulu sebab bisa saja saat kita kembali dan lelah ternyata kamar hostel belum juga tersedia. Ketiga, kalau mau menengok kamar lain, letakkan carrier berat di lantai bawah. Kalau sudah yakin, baru bawa carriernya ke atas.

Lain-lainnya, adalah (ini saran umum saja): bawa bukti booking, tanyakan alamat dengan jelas via email. Pilih taksi (kalau tidak ada bis) yang terpercaya saja (cek lewat cerita para turis). Sediakan uang kecil (kebanyakan supir taksi tidak akan mengembalikan uang kembalian yang agak kecil). Cari alamat hostel cadangan yang dekat dengan hostel pilihan pertama (kalau-kalau hostel pertama jorok dan bau).

http://indras-important.blogspot.com/2013/06/saran-booking-hostel-kalau-bacpackeran.html

Read Users' Comments (0)