Cicip Gudeg di Stasiun Gondangdia

Di hari kerja para pekerja kantoran, kerah abu-abu sampai yang berdasi dalam keterburuannya menyempatkan diri mampir di kotak Gudeg Bu Tina, di Stasiun Gondangdia. Semoga setelah Puasa ini , gurih dan manisnya gudeg Bu Tina bisa mampir kembali ke lidah kita.

Dari kecuekan saya, dan kadang malu-malu kalau makan di Stasiun (lah kadang-kadang kita suka malu-malu ga jelas gitu kan?), akhirnya rasa penasaranlah yang menang. Saya menyukai gudeg, dan di Stasiun Gondangdia terletaklah sebuah kotak sederhana yang menjual gudeg, tempe tahu bacem, ayam goreng, opor, krecek etc etc.

Kenapa saya sebut kotak? Lah disebut warung sepertinya ga mirip warung. Kios juga tidak cocok, apalagi restoran. Hanya gabungan etalase, meja dan bangku sederhana yang membentuk huruf U dengan si mbok dan si mas yang sibuk mencampur gudeg sesuai selera pembeli, dan lalu lalang mengantar piring, gelas teh serta membereskan sisa piring.

Si Mbok dan Mas inilah para pahlawan bangsa bagi saya kalau sedang menuju kantor di MH Thamrin, di kala pagi hari saat perut minta jatah, gurihnya gudeg mampu memberikan arti kata rasa enak kepada otak yang kadang bebal tidak mau menerima makanan lain, padahal jelas-jelas kata artikel ilmiah kalau tidak makan pagi IQ bisa merosot sampai belasan point (telmi, dan peringatan keras bagi yang mau tes psikologi di perusahaan).

Sepiring gudeg, krecek, tahu, telur, berwarna coklat, sedikit kacang dan nasi hangat plus teh dihargai Rp 8000,-. Worthedlah daripada saya beli makanan Amerika McD yang selain rasanya menurut saya kaya makan lemak goreng juga tidak bersahabat dengan para petani dan lingkungan (baca dong tentang McD di internet ya bagi yang belum tahu).

Masalah harga, disini tinggal hitung sendiri saja kalau mau ditambah tempe, tahu bacem (Rp 1500), plus ayam goreng / opor (paha, dada- Rp 5000 - 8000?) atau es teh manis (Rp 2500)... Puas memang dengan para asesoris gudeg disini. Apapun ada.

Saya biasanya memilih paket Rp 8000 saja (nasi gudeg, telur, krecek, tahu) karena kalau ditambah ayam, membersihkan tangan akan kurang bersih (Bu Tina tidak menyediakan air kobokan karena sepertinya doi sibuk banget, dan mungkin karena sumber airnya jauh juga ya..?). Makan gudeg plus-plus hanya saya lakukan siang hari biasanya jikalau sedang santai dan sehabis menyelesaikan pekerjaan, jadi bisa sambil cuci tangan dengan nyaman (beruntunglah yang bisa memakai sendok dan garpu saat memakan opor ayam).

Yang istimewa pada Gudeg Bu Tina selain kelengkapannya (well, top lah lengkap banget), semua masakannya juga disiapkan sungguh-sungguh. Maksudnya adalah bumbu meresap di gudeg, telur, krecek, ayam dan lain-lain tidak seperti gudeg asal-asalan yang rasanya encer dan asal cemplung di panci. Untuk rasa, berdasarkan pengalaman pergudegan, rasa manisnya sedang, sedang gurihnya pas. Tidak salah kalau para pekerja di pagi hari berbondong-bondong berkumpul atau membungkus gudeg untuk disantap di siang hari. Satu orang membeli 8 bungkus ya masih dalam tahapan wajar kayanya kalau disini.

Jangan lupa kalau mau kesini, datanglah sebelum pukul 2 siang. Sebab dikala mendekati senja sudah dapat dipastikan gudeg Bu Tina habis. Hiburan bagi lidah diluar kota Yogyakarta.

Get There
Ke Stasiun Gondangdia? Paling gampang ya pakai kereta api, ekonomi cuma Rp 2.500,- dari Bogor (siapa tahu Om dan Tante dititip ma anak, cucu atau istri). Kalau pakai jalur bussway dari Kota atau Blok-M tinggal turun di Sarinah, lalu ngojek ke Stasiun Gondangdia (Rp 5000,-), atau jalan kaki 10 menit [Indra NH].

Read Users' Comments (1)comments

Melarikan Diri di Hari Kerja : Kebun Teh Gunung Mas!

Apakah pernah terpikir oleh Anda mengerjakan pekerjaan kantor Anda di tengah hamparan kebun teh, di tengah restoran sambil dihembus kabut dingin? Mengapa tidak, kebun teh Gunung Mas hanya berjarak 1 jam 15 menit perjalanan dari Bogor..!

Bermula dari perasaan bosan saya mengerjakan pekerjaan di kantor, saya berinisiatif untuk meminta ijin kepada atasan untuk membawa pekerjaan saya keluar kantor, dengan tujuan untuk menyelesaikannya diluar. Beruntung, kantor saya tidak menerapkan sistem ketat mengenai waktu dan lokasi kerja. Selama pekerjaan dapat diselesaikan, staf dapat memilih waktu kerjanya tersendiri. Untuk hal-hal penting, keberadaan di kantor memang wajib, namun lainnya tidak.

Pagi-pagi, saya menyiapkan termos berisi air panas, gelas, instan jahe, kopi dan lain-lain. Tujuan saya adalah perkebunan teh Gunung Mas, yang terletak di Kawasan Tugu, Puncak, yang berketinggian 1200-1500 meter dpl.

Walau bulan Juli ini aneh, hujan selalu dimana-mana (wah, perubahan iklim memang sangat terasa saat ini) namun saya memutuskan tetap pergi, hujan ataupun tidak. Sekali niat jalan-jalan, niat harus selalu dipegang – begitu pikir saya, sama seperti petani yang tetap menggarap lahan walau hujan turun (lah petani kan kerjanya lebih berat daripada kita yang cuma jalan-jalan?)

Jadi dengan naik angkot berangkatlah saya. Hujan turun berkali-kali saat perjalanan yang namun selalu berhenti saat saya berpindah transportasi, sehingga sampailah akhirnya di Desa Tugu, Puncak. Desa Tugu berbatasan langsung dengan areal kebun teh. Di sebelah kiri adalah perkebunan Ciliwung (karena dilewati Sungai Ciliwung yang masih kecil dan jernih) sedangkan perkebunan Gunung Mas terletak di sebelah kanan jalan.

Pintu masuk resmi Gunung Mas terletak menjorok ke dalam dan ditandai dengan ucapan selamat datang besar, sedangkan jalur masuk pemetik teh terletak dimana-mana di pinggir kebun berupa jalan setapak. Jalur pemetik teh terdekat dari perhentian angkot di Tugu terletak sepelemparan batu di pinggir jalan, dibatasi dengan portal penghalang mobil.

Warung penjaja makanan dan souvenir
Jadi akhirnya sampailah saya, setelah melewati jalur pemetik teh ke istal kuda. Sepanjang perjalanan “teawalk” saya berhati-hati: kotoran kuda ada dimana-mana. Memang bagian depan Gunung Mas adalah rute berkuda wisatawan. Pada hari biasa seperti ini (diluar Sabtu dan Minggu) tampak beberapa wisatawan dari Timur Tengah mencoba tunggangan kuda, sambil ngobrol-ngobrol di tea corner.

Saya juga beristirahat di tea corner. Disini kita bisa memesan poci teh hijau atau hitam, khas tempat ini atau kopi, bandrek sambil ditemani pisang goreng telanjang ; atau makan siang dengan nasi goreng, mie ayam atau soto mie. Harga makanan di tea corner lebih mahal sedikit dibanding di luaran, namun masih terjangkau.

Sehubung akan mengerjakan pekerjaan saya di tea corner, maka tak lupa saya membeli kotak berisi teh hitam, untuk dibawa pulang. Pilihan meja dan bangku dengan sudut memandang ke hamparan teh saya pilih sebagai tempat kerja saya. Bila ingin memakai laptop, Anda dapat memilih bangku di sudut, dengan colokan listrik di dekatnya.

Bunga teh, sebelum menjadi biji
Mengerjakan tugas dengan memandang kebun teh sungguh menyenangkan. Tak lupa saya siapkan minuman jahe yang saya seduh dengan air panas dari termos yang saya bawa. Angin dingin sehabis hujan kadang bertiup sehingga saya memutuskan memakai jaket lagi. Kabut seringkali muncul tiba-tiba, untuk kemudian terangkat lagi. Begitu berulang-ulang, dan kadang kabut masuk ke dalam restoran, sehingga rasanya seperti sedang bekerja di dunia lain.

Kertas-kertas saya susun rapi di meja. Gelas dan termos di bangku.

Sebenarnya kalau Anda senang berjalan-jalan, Anda bisa melanjutkannya ke arah atas sedikit dari Tea Corner. Ada pabrik teh yang bisa kita masuki dengan guide, areal bermain anak dengan bebek-bebekan di kolam, lapangan tenis dan penginapan. Pada hari Sabtu dan Minggu tempat ini cukup ramai, bahkan areal flying fox dan trampoline rope adalah salah satu lokasi favorit bermain pengunjung.

Saya sengaja berkunjung di hari kerja, kan tujuannya memang untuk bekerja juga 

Kira-kira 3 jam, pekerjaan saya selesai. Tidak terlalu banyak memang, namun energi saya kembali terisi.
Setelah ransel kembali disandang, saya berjalan-jalan sebentar di areal kebun. Saya sempat bertemu para perempuan pemetik teh, dengan plastik di dada sampai kaki – sebagai penangkis embun saat memetik teh. Gerombolan berjalan searah, seperti para semut berwarna-warni di antara hijaunya daun teh.

Kalau saja memang kantor kita semua berada di tengah-tengan kebun teh…

Get There and How to Survive

Dari Terminal Bis Bogor (Baranang Siang) Anda dapat naik angkot jurusan Baranang Siang Ciawi sampai Ciawi (Rp 2.000, 30 menit) dan meneruskan dengan angkot jurusan Ciawi – Cisarua (Rp 5000, 45 menit). Jangan lupa untuk memberitahu supir bahwa Anda akan turun di Tugu, sebab tidak semua angkutan sampai kesana. Apabila menginginkan lebih murah Anda dapat menggunakan minibus / bus dari Terminal Baranang Siang sampai Tugu dengan ongkos Rp 5.000. Apabila ingin menghemat, Anda yang dari Jakarta dapat menggunakan kereta ekonomi (Rp 2.500) atau naik bis dari Kampung Rambutan – Garut / Tasikmalaya dan turun di Tugu.

Apabila ingin menghemat biaya, silahkan ikuti jalur masuk para pemetik teh (tanpa tiket  ^^V )makan siang dapat dilakukan di luar tea cornering (atau sebelumnya, di warung-warung di Tugu). Bawa termos air panas, gelas, sendok, kopi dan jahe instan. Hitung-hitung, sebenarnya dengan Rp 15.000 - 20.000 semua sudah bisa di cover, dari perjalanan, makan siang en oleh-oleh teh tubruk... Memang hemat dan bahagia bisa jalan seiring kok...

Read Users' Comments (0)

Mie Ayam Jamur "Gaya Tunggal"


Ingin menikmati mie ayam gaya lama di Bogor? Mampirlah sebentar ke Gaya Tunggal, restaurant mie ayam jamur terkenal di Bogor sebelum pulang ke kota Anda masing-masing.

Bagi sebagian warga tua Bogor, Gaya Tunggal lebih daripada rumah makan yang menyediakan menu-menu chinese food lezat, melainkan tempat untuk bertemu, kongkow-kongkow dan bernostalgia.

Menurut orang tua saya, dahulu Gaya Tunggal dikenal sebagai rumah makan Washington, letaknya sudah sama seperti sekarang yaitu di depan Gedung Zoologi Bogor, atau sering dipanggil Gedung Blao oleh warga asli Bogor dahulu.Lagi, menurut orang tua saya, rumah makan Washington ini sudah ada sejak tahun 1950an, saat Pasar Ramayana dan Pasar Bogor masih becek-beceknya (sekarang Mall BTM dan Plaza Bogor) dan Bio (Klenteng) dalam bentuk aslinya.
Pergunakan sedikit kuah saja...
Sempat pindah ke Pasar Anyar tahun 80an dan 90an: di dalam Pasar Anyar sebelum terbakar di tahun 80an akhir dan pindah ke sebuah gang kecil di sudut Pasar Anyar di sudut jalan Sawojajar, saat ini Gaya Tunggal sudah punya 2 cabang di Bogor yaitu di pertokoan Jalan Bangbarung (restaurant) dan Food Court Mall Botani Square. Bangunan lama di depan Gedung Zoologi sudah ditempati lagi, sekaligus menjadi tempat berkumpul dan bernostalgia

Menu yang sangat terkenal di sini adalah mie ayam jamur, yang bisa ditambah dengan bakso dan pangsit basah / kering. Sebagai teman minum, selain teh hangat kita juga dapat memesan es kelapa kopyor, shanghai, atau menu standar saya: es sirup yang baiknya tidak diaduk merata karena biasanya sangat manis (atau mintalah tambahan air putih sebagai pengencer).

Mie ayam di Gaya Tunggal dibuat sendiri. Rasanya percampuran sedikit asin dan manis, tidak menggigit namun pas saat disantap. Rasa jamurnya manis dan merupakan teman sejati dari mie ayam, sama seperti potongan ayamnya yang putih bersih, sedikit asin.

Kita tentu saja bisa memesan yamien, atau biasa namun saran saya nikmatilah mie ayam bakso jamur pangsit ini seadanya. Tambahkan hanya sedikit kecap manis apabila menginginkan tambahan rasa manis, atau sedikit saus bila menginginkan pedas, jangan terlalu banyak karena akan menghilangkan rasa asli dari mie ayam jamur itu sendiri. Pergunakan sedikit kuah, hanya untuk mengaduk mie ayam agar jamur dan potongan ayam tercampur rata.

Untuk mengulang rasa aslinya, minumlah teh hangat di tengah perjalanan makan, lalu lanjutkan makan. Rasa teh yang pahit akan menimbulkan kembali rasa gurih mie ayam jamur saat disantap.

Apabila Anda bukan penggemar mie ayam, silahkan coba nasi tim ayam (menurut sepupu saya "terbaik di dunia") atau masakan chinese food lain seperti nasi goreng, mun tahu, capcay, puyunghay dan bistik. Semua masakan halal.

How Much and How We Can

Mie ayam dengan tambahannya, jamur bakso dan pangsit berkisar antara Rp 8000 sampai 15000. Es sirup Rp 3000. Masakan dan minuman lain tidak mahal. Menu lain yang istimewa menurut saya adalah nasi tim ayam. Kunjungi rumah makan Gaya Tunggal yang berada di depan Gedung Zoologi Bogor, dekat pintu masuk Kebun Raya Bogor untuk rasa yang tetap asli. Untuk mie ayam, jangan gunakan delivery atau bawa pulang, rasa akan berbeda.

Read Users' Comments (0)

(Uniqly) Sasak Culture


Bali sama dengan Lombok tapi Lombok tidak sama dengan Bali....

Kenapa?

Usut punya usut ternyata apa awalnya ketika masih jaman kerajaan, Lombok adalah sebuah kerajan yang terkenal, namanya "Kerajaan Mataram". Kerajaan ini adalah salah satu jajahan dari Kerajaan Karang Asem di Bali. Dalam perkembangannya sedikit banyak kebudayaan Lombok atau suku sasak yang dominan beragama Islam dipengaruhi oleh kebudayaan Bali yang dominan beragama Hindu. Masyarakat kedua suku tersebut sampai saat ini hidup berdampingan dengan tenang saling berhubungan baik tanpa adanya rasa saling merendahkan.

Hampir sebagian kebudayaan Bali bisa ditemukan di Lombok. Mulai dari "Ngaben", bangunan Pura, upacara atau sembahyang arang Hindu, dll. Tapi Lombok mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki Bali. Misalnya, kebudayaan asli suku sasak dan berbagai ritual yang dilakukan untuk menghormati leluhur.

Kebudayaan asli Lombok masih tetap dipertahankan. Masih terdapat beberapa desa adat yang dipertahankan sebagai icon suku sasak. Salah satunya adalah Kampung Sade. Kampung ini terdiri dari sekitar 200 kk yang masih memegang teguh adat istiadatnya. Rumah khas suku ini semi permanen, atapnya jerami, dan lantainya terbuat dari tanah campuran semen serta kotoran sapi. Kotoran sapi digunakan secara rutin untuk melapisi lantai rumah mereka agar terlihat licin dan mengkilap. Selain itu, dibuat lumbung padi bersama untuk menyimpan hasil panennya.

Masyarakat di Kampung Sade, pada umumnya petani dan pengrajin kain tenun Lombok (perempuan). Hampir setiap rumah di Sade menjual hasil tenunannya kepada pengunjung baik domestik maupun mancanegara. Barang-barang yang dijual antara lain: kain tenun, syal, mainan, assesoris, dll. kegiatan para remajanya adalah menjadi guide dan menemani pengunjung yang datang.


Di samping kain tenunan khas, disini juga adalah surga bagi pecinta perhiasan terutama mutiara. Berbagai mutiara dalam bentuk, ukuran, dan warna serta kualitas yang beragam. Ada mutiara air laut yang harganya mahal dan ada mutiara budidaya air tawar yang relatif lebih murah. Mutiara yang ditawarkan berkisar antara 10 ribu hingga jutaan rupiah tergantung kualitas yang diinginkan.

Selain dimanjakan dengan keunikan budaya dan beragam souvenir yang ditawarkan Lombok adalah sebuah pulau yang memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Keindahan daarah pegunungan hingga pantai bisa dilihat disini. Gunung Rinjani menjadi salah satu wisata pendakian yang menjadi sasaran wisatawan yang datang dan daerah pegunungan Hutan Lindung Sesaot sebagai catchment area untuk air masyarakat Lombok. Daerah pantai yang masih bersih dan alami menjadi daya tarik lainnya yang tidak kalah dengan pantai-pantai yang ad di Pulau Bali.













Read Users' Comments (0)

Di Balik Uap Segelas Kopi Lampung

Dari sederet jenis kopi di Indonesia, kopi lampung mempunyai penggemar yang sangat besar. Kopi lampung adalah kopi jenis robusta, yang ditanam di dataran rendah sampai tinggi. Ini adalah cerita megenai apa yang terjadi di balik segelas kopi panas yang mengepulkan uapnya, di sebuah Dusun kecil bernama Buluh Kapur.


Buluh Kapur adalah sebuah Dusun kecil di Way Tenong, Lampung Barat, yang terletak bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dengan ketinggian sekitar 900 meter dan tanah yang berpasir, Dusun ini sudah mengembangkan tanaman kopi yang tumbuh subur sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Dusun yang berbatasan dengan hutan lindung ini memiliki sejarah konflik berkaitan dengan perkebunan dan penebangan liar. Oknum pemerintah dan tentara terlibat dalam pencurian kayu selama bertahun-tahun, membuat kerusakan lingkungan yang sulit diproses di ranah hukum.

Untuk menanggulangi pengrusakan lingkungan, akhirnya konsep HKM (Hutan Kemasyarakatan) dibentuk. Masyarakat diberi hak untuk menggarap lahan yang sudah ditempati di wilayah hutan, menanam tanaman keras sebagai tanaman konservasi dan bertugas sebagai penjaga lingkungan di wilayahnya sendiri. Kopi ditanam berdampingan dengan pohon meranti, melinjo, nangka, jinjing, cempaka dan lain-lain,

Saat ini, antara bulan April sampai Agustus apabila kita berjalan di sekitar Lampung maka warna hitam, merah, hijau dan kuning dari buah akan menghiasi pekarangan rumah. Penjemuran dilakukan 2-4 minggu bergantung cuaca, sampai kering.

Harga jual kopi sangat bergantung pada kualitas dan kandungan air biji kopi. Kopi kualitas terbaik, dengan kadar air 13% dapat berharga sejumlah Rp 14.500 / kg di pengepul, sedangkan kopi basah dengan kadar air lebih dari 30% hanya berharga sejumlah Rp 7.800 / kg saja. Dengan menghitung lahan penduduk yang bekisar antara 0,5-1,5 hektar, dan produksi antara 0,5-3 ton per tahunnya (bergantung musim), umumnya pendapatan dari kopi sekedar mencukupi saja untuk sekolah dan kehidupan sehari-hari mereka.

---

Suasana yang paling menyenangkan bagi saya, selain keramahan penduduknya - yang kebanyakan berasal dari Pulau Jawa adalah suasana menjelang pagi hari di Dusun. Dari rumah panggung saya dapat melihat sungai mengalir di kejauhan, berwarna perak. Terkadang kabut masih turun sampai jam 8 pagi dan hamparan tanaman kopi sampai sungai masih ditutupi oleh kabut, nampak berjalan perlahan sampai kemudian terangkat oleh sinar matahari.

Saya menginap di rumah Bapak Darsono.  Bapak Darsono memiliki satu orang istri dan tiga orang anak yang masing-masing bersekolah.

Penjemuran kopi umumnya dilakukan di pekarangan rumah
“Uang kopi ini terutama untuk sekolah anak-anak. Terkadang cukup, terkadang tidak cukup, bergantung pada musim panen setahun sekali,” Ucapnya sambil mengepulkan sejenis rokok lokal “RAWIT”

Disini, panen kopi memang tidak menentu. Pada musim yang buruk, seperti tahun 2008, petani menderita kerugian yang amat besar dan hutang kepada “bos kopi”menumpuk. Pada musim panen 2009, panen kopi mereka cukup baik, namun menutup lubang hutang yang besar juga membuat keadaan ekonomi mereka tidak kunjung membaik. Ironis menurut saya sebab kopi adalah komoditas unggulan Lampung, namun tidak berarti menanam kopi adalah sejahtera. Libatan hutang adalah permasalahan yang sangat pelik yang harus diselesaikan di Dusun ini.

Kopi Lampung sangat terkenal di Indonesia, bahkan dunia. Harga mahal diluar tidak berarti kesejahteraan penanam kopi juga meningkat. Ada yang perlu dibereskan terlebih dahulu.  Salah satunya adalah masalah lahan HKM, Hutan Kemasyarakatan, yang seperti pisau bermata dua, berpotensi merugikan masyarakat apabila pengelolaannya tidak tepat.

Saat ini lahan-lahan HKM, yang dimiliki masyarakat menyusut akibat pembelian hak garap oleh penduduk di luar Dusun.

Royongan, kegiatan kerja bakti di Dusun
Saya sangat khawatir akan hal ini. Bahkan di Buluh Kapur, yang masyarakatnya terkenal akan kekuatan, keswadayaan dan pemikirannya yang kritis hal ini terjadi. Lahan HKM beberapa mulai terlepas ke tangan orang diluar Dusun, pemilik modal.  Lalu apa yang terjadi dengan Dusun lainnya, apakah hal lain yang lebih parah terjadi? Bukankah seharusnya pengelola HKM adalah masyarakat sekitar yang mengenal daerahnya sendiri dan bergantung pada keberadaan lahan HKM?

Di malam hari gelap tanpa cahaya, selain dari terobosan kecil lampu teplok yang menembus dinding papan rumah-rumah di sekitar Masjid, suara tetabuhan dari jauh terdengar. Terbangan adalah seni tetabuhan dan vokal yang dilakukan oleh para ibu-ibu sebagai syukuran akan kelahiran seorang anak di Dusun ini. Suara mereka kompak menembus malam di Dusun yang belum terjamah listrik ini *.

Semangat kekeluargaan kental sekali disini. Seorang anak yang baru lahir akan dijaga bergantian oleh para bapak selama beberapa hari.  “Para suami siaga begitu” begitu ucap salah seorang teman saya yang senang mengamati perilaku sosial masyarakat.

Pagi hari, saat kabut terangkat - di Dusun Buluh Kapur
Biji kopi akan terasa istimewa apabila rasa dan aromanya berasal dari pilihan buah kopi dengan kualitas terbaik. Cara menyeduhnya pun menentukan rasanya. Tapi menurut saya, cerita dibaliknya lah yang
mengingatkan akan rasa kopi yang sesungguhnya.

* Catatan : saat kami meninggalkan Dusun, listrik di Masjid mulai menyala, berasal dari program mikro hidro yang dikerjakan masyarakat, didukung program Imbal Jasa Lingkungan dari ICRAF dan PLTA Way Besai.

Get There

Dari Bandar Lampung, Anda bisa menghubungi travel, Liwa Wisata (0721 7196353). Apabila Anda menyewa mobil (Rp 400.000), ingatkan sebelumnya agar sopir tidak memasang musik terlalu keras.Travel juga bisa menghitung perorangan (Rp 60.000 – 4 jam).  Bis tersedia dari Bandar Lampung, menuju jurusan Liwa. Apabila naik bis Anda dapat turun di Desa Sumber Jaya (Rp 35.000).

Buluh Kapur bukanlah desa tujuan wisata sehingga Anda harus naik ojek untuk menuju Pekon Gunung Terang (Rp 50.000 – 1 jam) dan meneruskan lagi dengan ojek setempat dari Pekon Gunung Terang menuju Dusun Buluh Kapur (Rp 20.000 – 20 menit). Gunakan hanya ojek yang biasa mengantar ke Dusun Buluh Kapur karena jalan yang ditempuh rusak dan sulit.

Contact Person yang bisa dihubungi di Dusun Buluh Kapur adalah Darsono (Ketua Forum, 085840084139) dan Tarsudin (Kepala Dusun, 08287280877) – keduanya sebaiknya dihubungi di malam hari saat tidak bekerja. Akomodasi adalah seadanya menggunakan rumah masyarakat. Apabila Anda ingin menyumbang, sebaiknya ditujukan kepada Forum HKM dan Kelompok Ibu-Ibu PKK di Dusun tersebut. [Indra NH].

Read Users' Comments (0)

One Thousand Island - Scout Island

Pelabuhan Muara Angke, Jakarta

Penumpang kapal yang aku tumpangi cukup banyak, termasuk juga sebuah motor besar yang di ikat di bagian depan kapal. Kapal bergerak, mencari celah untuk keluar dari persandaran, dan melaju membelah laut. Perjalanan akan kami tempuh selama kurang lebih 3 jam, dengan cukup membayar biaya Rp. 30.000 di atas kapal.

Beberapa ombak besar sempat kami rasakan, namun untungnya tidak sampai membuat kami terusir dari dek atas. Jumlah asupan makanan yang masuk ke perut rupanya cukup berpengaruh terhadap reaksi dari ombak yang meliuk2. Aku sedikit merasa mual karena memang nasi goreng yang aku makan saat sarapan sangat sedikit. Namun semua berlalu begitu saja karena aku berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan rasa mual itu. :)

3 jam kemudian, kapal kami merapat di sebuah pulau, yang pada awalnya disangka Pulau Untung Jawa oleh temanku (Ijah). Namun yang benar adalah Pulau Pramuka. Pulau inilah yang menjadi tempat tujuan kami, oleh karenanya, kami bergabung dengan para penumpang yang turun. Setelah turun dari kapal, kami berjalan ke arah kiri menuju sebuah darmaga kecil yang ada di ujung pulau. Rupanya, saat itu sedang ada rombongan yang melakukan persiapan selam di sana, sehingga kami mengurungkan diri untuk menuju kesana. Kamipun beristirahat di halaman sebuah villa. Teduh dan nyaman untuk berkemping nampaknya. hehehehe

Kemudian, datanglah seorang bapak2 yang mendekat dan menebarkan senyuman yang (kelewat) ramah. Awalnya, si bapak sepertinya mengira bahwa kami adalah anak2 muda yang sudah membuat janji dengannya (sepertinya lho).

Namanya Pak Jamal. Beliau adalah salah satu orang yang menjaga villa di Pulau Pramuka itu. Pak Jamal ini adalah orang yang suenaang sekali bercerita. Saking banyaknya, kami hanya menangkapnya separo2. Cukup untuk menggali informasi seputar kegiatan wisata di Pulau Pramuka itu.

Dari Bapak Jamal, kami mendapatkan beberapa informasi penting. Di antaranya adalah, bahwa harga sewa villa di Pulau Pramuka itu beraneka rupa. Mulai dari Rp. 800.000 sampai Rp. 2.500.000, tergantung pada kapasitas orangnya. Kondisi villa nya pun bermacam2. Ada yang berupa ruangan plus kamar mandi saja, ada juga yang terdiri dari beberapa kamar.

Selain mengenai villa, Bapak Jamal juga memberi tahu kami bahwa untuk standar pesan makanan kisaran harganya mulai dari Rp. 15.000 sampai Rp. 30.000.

Kami sekaligus meminta ijin untuk mendirikan dome di tempat kami mengobrol itu kepada Pak Jamal. Beliau merekomendasikan kepada bapak2 yang bersih2 tempat itu, dan ipada akhirnya kami boleh mendirikan tenda di situ. good.... :0

Sore itu, kami berencana akan melakukan kegiatan snorkling di sekitar darmaga saja, sekedar menyenangkan hati Salmul. Salmul tidak akan tinggal dan menginap bersama kami di Pulau Pramuka malam itu, karena dia sudah berjanji pada temannya yang lain untuk bertemu di rumahnya. Sayang sekali bukan?

Dan kamipun segera menitipkan barang ke villa yang di gunakan oleh Pak Jamal dan teman2nya beristirahat dan berkumpul. Sekaligus kami juga menyewa 2 buah life jacket untuk berjaga2 karena kami belum mahir berenang dan snorkling-an. Kamipun segera berjalan meniti jembatan kayu yang menghubungkan daratan dan darmaga. Rupanya saat itu rombongan Ringgo sedang bersiap untuk keberangkatan menyelam yang kedua. Memang Ringgo itu artis yang kocak..cak...cak... :p

Setelah perahu yang membawa Ringgo dkk menjauh, kamipun segera melepas dan memakai dresscode yang di perlukan untuk kegiatan kami. Tentunya, tujuan utama Salmul adalah untuk berfoto ria. Jauh2 datang dari Bogor, menghabiskan beberapa lembar rupiah, melewati waktu di pulau dengan sangat sebentar, hanyalah untuk mendapatkan beberapa jepret foto dengan phose snorkling. hahahhaa.... Biar semakin eksis ceunah... :p

Setelah semua kostum selesai di pasang, kamipun segera menceburkan diri di seputar darmaga kecil itu. Tempat yang dangkal dan sering di gunakan pengunjung untuk meng-kamuflasekan diri saat pipis. hahahhaa.... Tidak heran kalau pada akhirnya wilayah itu kehilangan terumbu karang, dan penghuninya berganti dengan bulu babi semata. hiiiiiii...... Musti banyak2 sedia air kencing nih, siapa tahu ada yang menyentuh dan menginjak bulu babi yang jumlahnya bejibun itu.

Kami hanya membawa 2 set alat snorkling. Karenanya, kami menggunakannya secara bergantian. Meskipun tidak ada terumbu karang yang indah2 di sekitar darmaga itu, kami cukup senang berenang2, berputar2, dan berfoto2 pastinya. Sebenarnya, tidak tega juga membiarkan Salmul kembali pulang ke darat hari itu juga. Karenanya, Aku dan Ijah berusaha untuk membujuk dan merayu (lebih tepatnya sih meracuni) Salmul untuk tetap tinggal di pulau bersama kami. Untuk acara trainingnya, kami membujuk dia untuk segera mengajukan ijin karena sakit kepada supervisornya (kebiasaan mahasiswa untuk melarikan diri). hahhahaa...

Namun sayang, kali ini Salmul tidak tergoda ataupun tergiur dengan rayuan maut kami. Dia tetap keukeuh dengan niatnya untuk pulang. Dia mengaku sudah cukup puas dengan waktu yang singkat dan foto yang sedikit itu. Dia memutuskan akan tetap pulang dengan kapal yang datang siang itu juga. Hiks...hiks.... Salmul.... We will miss you honey... ihikihikihik :p

Sekitar jam 1 siang, kapal yang akan membawa para penumpang dari Pulau Pramuka menuju Muara Angke tiba di pelabuhan Pulau Pramuka. Kamipun bergegas menuju pelabuhan untuk mengantarkan Salmul. Salmul yang masih menggunakan kostum snorkling, lengkap dengan google dan snorkle di kepalanya, melenggang kangkung mencari kamar mandi untuk berganti kostum. Aku, Ijah, dan Pet yang merasa lapar, menunggu Salmul sambil makan bakso di dekat pelabuhan. Di situ kami sempat bertemu dan ngobrol sebentar dengan Pak Jamal (again).

"Does she will go to Bogor with that clothes?" tanya Pet
"Hahahha.... I dunno... maybe.." kataku sambil tertawa melihat Salmul yang kesana kemari mencari toilet.

Salmul kurang beruntung dan tidak menemukan kamar mandi untuk berganti baju. Akhirnya benar sudah tebakan Pet, bahwa Salmul akan pulang ke darat dengan kostum snorkling-an itu. Meskipun dikurangi google dan snorkle dari kepalanya, namun tetap saja kombinasi antara celana legging dan kaus hitam di tambah celana pendek bunga2 dan kerudung itu akan menjadi kostum yang sangat2 istimewa. Si Ratu Pede pun beraksi. hahahaha :p

Setelah Salmul berangkat dengan kapalnya, kamipun melanjutkan perjalanan mengelilingi Pulau Pramuka itu. Menurut kabar dari orang, di pulau ini kan ada tempat penangkaran mangrove dan penangkaran penyu, jadi kami akan membuktikan kebenaran kabar itu.

Dalam perjalanan, kami menemukan sebuah rumah kecil di pinggir jalan yang cukup menarik perhatian. Di bagian depannya, ada tulisan "Rumah Daur Ulang". Sepertinya ini adalah rumah yang di buat oleh kelompok masyarakat sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat pesisir di pulau ini.

Setelah mengamati tulisan dan bangunan itu beberapa saat, kami baru menyadari bahwa ada seseorang yang kami kenali di dalam rumah itu. Orang itu memanggil2 kami untuk mendekat. Rupanya tak lain dan tak bukan beliau adalah Pak Jamal. hahahha.... Dimana2 sepertinya kami akan tetap dan terus bertemu dengan Pak Jamal. Betapa sempitnya Pulau Pramuka ini, meskipun hanya sekedar untuk bersembunyi dari Bapak Jamal. :p

Kamipun tertawa dan bergabung dengan Pak Jamal yang sudah duduk manis di salah satu kursi di dalam rumah itu. Selain Pak Jamal, aku melihat di dalam rumah itu ada 2 orang ibu2 yang sedang sibuk bekerja. Ibu yang satu sedang sibuk di sudut merapikan dan memotong2 plastik, Sedangkan si ibu yang satunya sedang sibuk menjahit dan menyatukan plastik2 itu menjadi tas.

Rupanya, rumah daur ulang itu adalah rumah yang di gunakan untuk mendaur ulang sampah plastik dari limbah rumah tangga, menjadi barang2 yang bisa di pakai kembali seperti tas, dompet, tempat hp, dll. Aku melihat banyak sekali barang2 yang di tampilkan di sana. Di gantung rapi dengan banyak sekali model. Bahan2nyapun beraneka ragam, mulai dari bungkus kopi, bungkus detergen, bungkus pewangi pakaian, bungkus panganan kecil, dll. Harganya juga tidak terlalu mahal, mulai dari Rp. 20.000-an. Woowww...

Berdasarkan keterangan si ibu yang menjahit, bahan dasar yang digunakan untuk daur ulang awalnya berasal dari Jakarta. Namun belakangan ini, bahan2 itu sudah bisa di peroleh dari Pulau Pramuka sendiri. Setiap Hari Minggu, anak2 SD di pulau itu juga melakukan kerja bakti di sepanjang pantai dan mengumpulkan sampah2 plastik untuk kemudian di berikan pada kelompok daur ulang ini.

Selain itu, ibu2 rumah tangga di Pulau Pramuka juga sudah mau memisahkan sampah2 rumah tangga mereka, sehingga lebih mudah lagi mendapatkan plastik bahan daur ulang.

Setelah dari tempat daur ulang sampah plastik, kamipun bergerak menuju ujung lain dari pulau itu. Ternyata, Pulau Pramuka memang tidak terlalu luas yaaa.... Baru sebentar berjalan, kami sudah sampai di pinggir pantai lagi. hahaha... Jadi pengen muterin pantainya. Oh iya, menurut si ibu yang menjahit di tempat daur ulang tadi, katanya akan segera di bangun jalan lingkar luar di sepanjang pantai Pulau Pramuka itu. Waduh.... alamat pantainya bakalan banyak berubah donk. Selalu saja ada konsekuensi yang harus di terima untuk membuat sebuah kemajuan... ck..ck..ck...

Beberapa waktu kemudian, kami melihat ada Kapal yang sudah lapuk dan dimakan makhluk2 kecil2. Aku menunggu Ijah dan Pet yang pergi ke Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk menyelesaikan beberapa urusan. Aku menikmati pemandangan pantai yang banyak di tanami mangrove. Di depanku, sepertinya merupakan lahan penanaman mangrove untuk mencegah abrasi pantai. Ya, Kepulauan Seribu memang banyak mendapat ancaman dari abrasi pantai.

Disamping karena permukaan tanahnya semakin menurun, permukaan laut juga semakin lama semakin naik. Keberadaan mangrove di sepanjang pantai sangat di perlukan untuk menahan gerusan ombak. Meskipun itu artinya kita harus merelakan pantai yang bisa kita gunakan untuk bermain ombak, berubah menjadi tanaman mangrove. :)

Puas melihat2 kondisi pantai dengan mangrovenya, kamipun berjalan menuju menara yang ada di pantai itu. Menara yang terbuat dari semen itu, digunakan wisatawan untuk menikmati pemandangan laut hingga sejauh mata memandang. Lumayan juga. Kami sempat berfikir untuk mendirikan tenda di atas menara itu saja malam harinya. Sepertinya akan lebih nyaman daripada di pantai yang banyak nyamuknya. :p

Aku segera turun dan menyusuri jalanan kembali. Dari keterangan seorang bapak yang sedang mendorong gerobak yang berisi tanaman mangrove, beberapa meter kedepan adalah tempat penangkaran penyu. Akupun berjalan menuju kesana. Namun sayang sekali, penjaga yang membawa kunci untuk memasuki ruangan penangkaran sedang tidak ada. Karenanya, kami hanya bisa melihat dari luar ruangan. Di dalam ruangan itu, banyak sekali bak2 yang berisi penyu sisik dengan berbagai ukuran. Ada yang masih berupa tukik, hingga yang sudah berukuran besar.

Di bagian depan, terdapat meja yang memuat botol dan tabung2 berisi alkohol. Rupanya itu adalah media yang digunakan untuk mengawetkan tukik dan telur yang gagal menetas. Hiks.... baunya lumayan mengena, tapi lebih kena perasaan kasihannya. :p

Di sekeliling tempat penangkaran penyu itu, ada bedeng2 yang digunakan untuk persemaian mangrove. Mulai dari Mangrove yang baru saja di stek, hingga mangrove yang sudah tumbuh subur. Mungkin setelah cukup umur dari lokasi persemaian itu, baru kemudian mangrove2 tersebut di tanam di pantai. Masih menurut keterangan si ibu penjahit, katanya penangkaran mangrove di Pulau Pramuka ini adalah termasuk salah satu penangkaran yang paling besar.

Selain persemaian yang ada di areal penangkaran penyu, rupanya masih ada lagi satu bedeng persemaian mangrove yang terletak di seberang jalan. Di sana tertera keterangan yang menyebutkan bahwa persemaian itu dilakukan oleh sekelompok pengunjung yang sedang mengadakan aksi peduli lingkungan.

Karena aku sudah cukup puas melihat2 penangkaran penyu sedangkan Ijah dan Pet belum, maka akupun berdiri di pinggir jalan, melihat kesibukan masyarakat Pulau Pramuka di sepanjang jalan itu. Tiba2 ada bapak2 yang sedang bersepeda, yang jika di tilik dari raut mukanya adalah orang yang ramah dan mudah di ajak bicara. Prosedur standarpun di lancarkan. Senyum, sedikit menyapa, dan kemudian beliau berhenti. Obrolanpun di mulai.

Pak Zakariya alias Pak Zak. Itulah nama beliau. Bukan kepala balai, namun merupakan salah satu orang yang berpengaruh di Balai Taman Nasional Pulau Seribu (begitu menurutnya). Kami berempat ngobrol sambil berdiri, masih di depan penangkaran penyu. Banyak hal yang di bicarakan, namun bagian yang terpenting dari obrolan panjang itu adalah bahwa si Pak Zak menawarkan kepada kami untuk snorkling bersamanya. Terlihat sekali bahwa beliau senang mengobrol dan berbagi ilmu, terlebih lagi dengan Pet. Ow..ow...

"Memang kalian beneran mau snorkling?"
"Mau donk pak..."
"Kalau begitu, saya bisa mengantarkan kalian snorkling dengan kapal balai"
"Eh, serius pak? gratis nih?"
"Iya, gratis....."
"Asyiiikk.... mau donk pak... terima kasih ya pak..."
"Kalau gitu nanti kalo sudah siap, telpon saya saja"
"Siap pak... kita mau makan dulu sebentar"

Transaksi selesai dengan hasil memuaskan. Kamipun makan siang dengan tenang dan gembira. Bayangan untuk bisa snorkling-an di tempat yang benar2 layak untuk snorkling sudah membayang di pelupuk mata. Yang lebih menyenangkan lagi adalah aroma gratis yang sudah sedemikian kuatnya melekat di otak. Dewi fortuna sudah rela loncat dari puri kahyangan untuk membantu kami yang lemah ini. hahahaha

Selesai makan, kamipun menghubungi Pak Zak untuk memastikan waktu dan tempat bertemu. Kami akan bertemu di dermaga kecil tempat kami berenang siang harinya. Tak lupa, terlebih dahulu kami menitipan barang2 kepada Pak Rahmat di villa tempat mereka beristirahat. Beliau sempat heran dan bertanya2 ketika kami mengatakan bahwa kami akan di ajak ber-snorkling ria dengan Pak Zak. Mungkin dalam hatinya beliau bertanya2, ini anak2 muda nemplak-nemplok sama orang2 seenaknya sendiri.... hehehehhe

Tak berapa lama kemudian, Pak Zak sudah datang dengan perahunya yang lucu. Perahu balai taman nasional yang mungil. Di bagian pinggirnya terdapat tulisan "Acropora echinata". Acropora echinata adalah nama ilmiah dari salah satu coral yang ada di Kepulauan Seribu. Kamipun dengan bersemangat 45 menaiki kapal tersebut. Pak Zak mengendarai kapal tersebut dengan lihai.

Dalam perjalanan menuju tempat snorkling, kami melewati sebuah kolam renang. Kolam renang lengkap dengan anjungan untuk lompat indah. Setelah kolam renang, kami melewati sebuah penangkaran ikan. Aku lupa tepatnya ikan apa, kalau tidak salah itu adakah penangkara ikan bandeng. Entahlah... ingatanku mulai memburuk lagi. Di tempat penangkaran ikan itu, banyak sekali bertengger burung2 laut. Diantaranya burung Pecuk. Tentu saja mereka betah berada di situ, karena persediaan makanan untuk mereka pasti lebih sustainable. :p

Selain penangkaran ikan, ada juga pabrik pengalengan di tengah laut. Wow... pasti ikan2 yang di kalengkan disana sangatlah segar. Lokasinya saja langsung di tengah lautan. Kemudian kami melihat ada beberapa perahu mewah beserta dengan beberapa orang yang (nampaknya) merupakan orang2 Cina/Jepang. Menurut keterangan Pak Zak, kapal2 yang mewah itu adalah kepunyaan mereka sendiri, yang diberangkatkan dari Pelabuhan Marina. ooohh.... orang2 kaya... Kata kami (dengan sedikit nyinyir) hahaha...

Beberapa saat kemudian, kami melihat sebuah bangunan(masih di tengah laut) yang nampaknya adalah restoran. Hmmm.... restoran di atas laut rupanya. (Masih menurut Pak Zak), restoran itu merupakan tempat makan yang banyak di kunjungi oleh wisatawan2 berduit. Intinya, harganya jauh lebih mahal daripada makanan di darat lah yaw.... Setelah restoran, kami juga melihat sebuah bangunan mungil yang terpisah dari restoran tadi. Nampaknya itu adalah sebuah villa mungil. Waaahhh.... Keren ya villa di atas laut itu. Romantis sekali kalau bulan madu di tempat itu. :p

Kami sempat melihat satu ekor penyu sisik yang sedang berenang di lautan. Pet berniat untuk mengabadikannya melalui kameranya, namun tidak terburu waktu. Penyu itu segera kabur dan tidak menampakkan diri lagi. Kami berharap semoga nantinya kami masih bisa melihat penyu2 yang lainnya. :)

Tak lama kemudian, kami sampai di tempat yang kami tuju sebagai lahan snorkling-an. Perahupun di tambatkan. Tak jauh dari kami, ada satu gubuk apung yang memang terapung2. Rupanya itu adalah gubuk untuk para penggemar fishing atau memancing. Suatu saat aku pengen juga merasakan memancing sambil di goyang2 ombak begitu. Kalaupun tidak memancing, mungkin bisa juga membaca buku di tempat itu. Pasti waktu akan berlalu dengan cepatnya. :p

Kamipun bersiap2 untuk turun ke air dan menikmati keindahan bawah laut kepulauan ini. Pet sudah dengan lihainya berenang kesana-kesini. Pak Zak sudah menyiapkan satu buah lifevest untuk antisipasi bagi kami yang kurang bisa beranang ini. Aku dan Ijah mencoba alat snorkling yang kami bawa. Aku segera turun dan melihat bahwa di bawah sana pemandangan sangat indah. Banyak terumbu karang warna-warni yang masih tampak baru, hasil transplantasi.

Percobaan snorkling pertama menjadi sesuatu yang lucu karena aku dan Ijah sama2 belum menyadari bahwa kami dengan mudahnya terbawa arus. Akupun berpegangan pada lifevest yang telah di pegang Ijah terlebih dahulu. Karena perbedaan berat badan dan juga posisi, kami menjadi bergulat bersama naik turun bergantian. Aku tertawa terbahak2, masih dengan peralatan snorkling di mulutku.

Aku meminta Ijah untuk mengantarkanku kembali ke kapal untuk sekedar membenahi posisi alat snorkle-ku. Ijah dengan sekuat tenaga mendorong lifevest itu menuju kapal. Namun lama sekali rasanya, kami tidak bertambah maju. Rupanya, arus melawan usaha kami lebih kuat. hahahhaa..... Aku dan Ijah pun bergelut bersama sambil terus tertawa mentertawakan diri kami sendiri. Pada akhirnya, setelah sekian lama berusaha, akupun bisa di selamatkan ke kapal. Wuidih.... Banyak energi terkuras untuk "me-rescue" perjalananku yang pertama. hahahahha

Pak Zak menunjukkan bahwa tidak jauh dari kami, ada sebuah coral masif yang sangat besar dan bisa kami gunakan untuk berdiri. Ijah dan Pet terlebih dulu sampai di coral itu, baru kemudian aku menyusul. Aku sudah bisa snorkling-an sendiri tanpa bantuan lifevest pada akhirnya. Menyenangkan sekali. Thanks for the opportunity ya Pak Zak.... ^_^

Aku melihat di bawah sana banyak sekali terumbu karang hasil transplantasi yang sedang tumbuh. Hal itu dapat dilihat dari batu2 yang berasal dari semen, yang di gunakan sebagai media tumbuhnya. Pak Zak menceritakan bahwa coral2 itu usianya sekitar 2 tahun-an. Beliau juga menceritakan banyak hal mengenai pulau2 di Kepulauan Seribu beserta dengan potensi2 yang di miliki. Ini baru merupakan salah satu dari sekian banyaknya kekayaan Bangsa Indonesia. ^_^

Pak Zak sempat bercerita mengenai privatisasi pulau yang di lakukan oleh beberapa orang kaya dari dalam dan luar negri Indonesia. Selain itu, pak Zak juga menceritakan mengenai suka duka bekerja di pulau seperti itu. Tak terasa, haripun beranjak malam. Gelap datang dengan cepat, dan kami di anjurkan untuk segera naik ke kapal untuk kembali ke Darmaga. Permintaan Pet untuk berenang menyusul kapal di tolak oleh Pak Zak. "Sudah malam" katanya. Sekali lagi, terima kasih banyak Pak Zak...

Kamipun di turunkan di darmaga tempat kami naik sebelumnya. Pak Zak langsung pulang, Pet dan Ijah melanjutkan berenang, dan aku memilih pergi ke warung untuk membeli air minum dan sedikit makanan. Logistik kami rupanya teramat sangat kurang, di ikuti dengan semakin berkurangnya persediaan uang cash kami. Pelajaran untuk yang akan berwisata ke pulau, untuk membawa uang cash sebanyak2nya. :p

Akupun berjalan menyusuri darmaga sambil menikmati angin pantai yang lembab. Aku sempat berhenti sebentar dan mengamati aktivitas beberapa orang yang sedang sibuk mengangkut tanaman mangrove. Sepertinya mereka akan membawa bibit2 mangrove itu ke pulau lain. Aku lupa menanyakan pulau mana yang akan di tuju kapal itu.

Akhirnya aku menemukan warung kecil yang menjual beberapa kebutuhan pokok rumah tangga. Bahan2 utama yang aku butuhkan sudah kudapatkan, lalu aku memilih beberapa snack untuk cemilah di darmaga. Sayang sekali, persediaan snack di warung itu sangat minim sekali. Selain jumlah pilihannya sedikit sekali, snack yang adapun sepertinya sudah hampir kadaluarsa. Pelajaran lagi untukk yang akan berwisata ke pulau adalah membawa sebanyak2nya snack atau penganan dari darat agar tidak kelaparan.

Bekal untuk melewatkan malam yang teramat sangat minimalis, sudah di pelukan. Akupun kembali menyusuri gelapnya pantai yang benar2 sepi. Mengingatkanku pada pengalaman ketika aku berjalan di pulau Karimun Jawa untuk tujuan yang sama. Hanya saja Karimun Jawa memiliki lebih banyak pilihan cemilan di bandingkan di pulau ini.

Sesampainya di darmaga, aktivitas berenang sudah selesai. Kamipun mendirikan tenda yang akan kami gunakan untuk bermalam. Entah kenapa dalam perjalanan ini aku merasa sangat bodoh dan kurang persiapan sekali. Banyak hal2 yang aku lupakan dan tidak aku bawa sehingga menjadi masalah kemudian. Contohnya, pisau multiguna C*****n ku. Sangat sulit mengatasi keteledoran ini. :p

Malam itu langit terang bersama bintang2 nya, meskipun nampaknya bulan sedang absen. Jutaan bintang bersinar terang di atas sana, menemani kami yang bergelimpangan di dermaga. Kami bercerita ngalor-ngidul mengenai banyak hal. Tidak perduli apakah materi yang kami bicarakan saling bisa dipahami atau tidak. Scara pembicaraan 3 bahasa gitu lho. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, plus Bahasa Tubuh. hahahahhaa.....

Isi pembicaraanpun beraneka ragam. Mulai dari bintang, pekerjaan, hingga masalah cinta. Prikitiew.... prikitiew....

Sayangnya, pesona bintang yang cukup melenakan itu tidak bertahan lama. Bersamaan dengan malam yang semakin kelam, mendungpun datang tanpa perlu di undang. Perlahan namun pasti langitpun menggelap. Dan tak berapa lama kemudian, mulai turun rintik hujan yang semakin menderas. Kamipun bergegas memasuki tenda, dan bersiap tidur.

Sepertinya aku sudah terlelap ketika sayup2 kudengar Ijah atau Pet berkata,
"Someones coming"
"Wah.... so scary...."

Mau tidak mau, kesadarankupun menjadi terpanggil dan aku mulai terbangun. Akupun ikut melongokkan kepalaku ke luar tenda. Rupanya ada seorang bapak2 tua yang memakai sarung dan baju koko, berdiri di ujung dermaga. Dia berdiri dengan tenang sambil menghadap ke laut, membelakangi kami. Sekilas, aku melihatnya menggerak2an tangannya yang memegang benda seperti bakul kecil. Benda itu dia putar2kan secara perlahan dan kontinyu.
"What is he doing?"
"I don't know... Maybe he just make some ceremony or ritual"
"What kind of ceremony?"
"I dunno...."

Dan akupun kembali menempati tempat tidurku dengan perasaan sedikit was-was. Khawatir juga kalau misalkan ternyata si bapak itu memang sedang ritual. Jangan2 nanti dia kesurupan terus membabi buta ke tenda kami, atau mungkin saja dia adalah orang jahat. Hhiiiiyyyy..... Parno....

Lama kelamaan, aku mendengar suara dari luar tenda. Nampaknya dari tempat si bapak itu berdiri. "Seerrrrr..... seerrrr..... " Pikiranku langsung berkelana dengan liarnya. Aku pikir si bapak itu pasti sedang melakukan ritual mengumpulkan tenaga atau energi dari laut. Itulah mengapa dia menggerakkan tangannya secara memutar seperti tadi. Pasti suara itu adalah suara energi yang datang dari laut dan mulai terkumpul sedikit demi sedikit di tangannya. Waduh, kalau energinya semakin besar, bagaimana nasib kami? tanyaku dalam hati.

Lamunan liarku berhenti mendadak ketika si Pet tiba2 bilang,
"I know what he did..... He just fishing...." Katanya
"What... ?" tanyaku langsung duduk lagi
"Ya.... he just fishing. And the voices come from his equipment."

Dan kamipun mengamati si bapak. Setelah beberapa saat, si bapak tampak melempar tali ke tengah laut, dan kemudian muncul kembali bunyi2an itu. Maka yakinlah aku kalau si bapak hanya sedang memancing. hahahahhaa..... Maklum, otak sudah terlanjur berkhayal. :p
"Pak, sedang mancing apa pak?" tanyaku, dan si bapak tidak mendengarnya.
"Maaf pak, bapak sedang mancing apa ya?" tanyaku sedikit lebih keras.
"Oh, saya sedang mencari cumi. maaf kalau mengganggu ya" kata si bapak sambil menengok ke arah kami.

Akhirnya aku dan Pet tertarik untuk mendekati, melihat dan menemani si bapak memancing cumi. Nama beliau adalah Pak Umar. Beliau tinggal di Pulau Pramuka, dekat dengan tower (nggak tau tower mana). Beliau memang sering memancing cumi di darmaga ini. Menurut beliau, setelah hari hujan, ketika bintang mulai bermunculan, maka cumi2 akan datang ke darmaga ini karena tertarik dengan cahaya lampunya.

Pak Umar yang bekerja di perhotelan sewaktu masih muda, bisa berbicara bahasa inggris dengan cukup baik. Beliau senang sekali bisa bertukar cerita dengan Pet tentang cumi (sepia), alat pancing cumi, laut, perikanan, pemerintah, dan lain sebagainya. Beberapa percobaan yang di lakukan Pak Umar gagal dan tidak membuahkan cumi. Salah satu lemparan kail Pak Umar sempat nyangkut di dekapan cumi, namun terlepas kembali ketika di tarik. Pak Umarpun menyerah dan tidak ingin melanjutkan lagi.

Si Pet akhirnya tertarik untuk mencoba memancing cumi. Dan rupanya, rejeki Pak Umar ada di tangan Pet malam itu. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Pet berhasil menangkap 1 cumi. Dengan sangat bernafsu dia segera mengeluarkan kamera dan menjeprat-jepret sana-sini. Dia terlihat terlalu antusias untuk ukuran bule bertemu dengan cumi. Akhirnya diapun berphoto bertiga dengan sahabat barunya, Pak Umar dan si cumi. Sayangnya si cumi yang rentan terhadap kekeringan itu cepat sekali meninggal dunia. Usaha Pet menyelamatkan dengan cara memberikan air laut pada plastiknya gagal. Karenanya, cumi itu langsung di berikan saja pada Pak Umar untuk di bawa pulang. Pak Umarpun pulang, kami berpisah dengan Pak Umar, dan kami kembali tidur, menyusul Ijah yang sudah bablas sampai papua. :p

Paginya, kami bangun cukup siang. Aku terbangun karena aku merasa lapar. Beruntung masih ada indomie yang bisa aku masak dan aku makan meskipun tanpa sendok. Pak Zak sempat mendatangi kami, namun karena baru aku seorang yang bangun dan tidak tau mau ngobrol apa, akhirnya beliau pergi lagi. So sorry pak... nyawa saya belum ngumpul benar. hehehehhe

Mendekati waktu kapal datang, barulah kami semua benar2 bangun. Dengan segera kami membenahi tenda dan semua peralatan agar bisa mengejar kapal. Si Pet sempat berkata, kenapa kita tidak menunggu kapal yang siang hari saja sehingga kita tidak perlu stress dengan persiapan yang mendadak ketika nyawa belum sepenuhnya terkumpul? Namun akhirnya dia menyerah juga, karena menghadapi kenyataan bahwa kami sudah hampir kehabisan uang cash. Semakin lama kami tinggal di pulau, maka keuangan kami yang telah di landa krisis moneter itu akan semakin parah. Dan kamipun pulang bersama dengan penumpang kapal pagi yang lainnya.

Selamat tinggal Pulau Pramuka, sampai bertemu lagi secepatnya.... :)

Get There
Dari manapun kita berasal, pastikan bahwa kita sudah menuju Pelabuhan Muara Angke. Dari Muara Angke, kapal menuju pulau2 di kepulauan seribu selalu siap sedia membawa kita. Rp.30.000 :)

Read Users' Comments (2)

Wisata Budaya di "Brussel-nya Indonesia"

Tengterereng...... Museum??? Oh no.... :p

Apa yang akan kalian katakan kalau ada orang yang mengajak kalian pergi ke museum? Hhhahaa.... Mungkin tidak jauh2 dari apa yang aku katakan.
"Ya ampuuunnn... nggak ada tempat lain apa ya?"
"Adduuh.... males deh. Membosankan"
"Iiihhh... Ade ape di sana cing?"
"Oh my gosh... ityu khan engghak bangghet deeecchhh..."
" Museum? Makanan jenis apa itu?"

Hahahhaa.... Buruk semua bukan, gambaran tentang museum kita? Mungkin di antara kita bahkan ada yang hanya menginjakkan kaki di museum ketika masih SD, itupun karena wajib plus ancaman nggak naik kelas... :p

Bukan salah kita juga sih ya, secara penampakan museum2 di Indonesiah tercinta ini memang rada ajaib. Cenderung ke kusam, kuno, kayu, mistik, dan suram. Mungkin karena sifat dasar masyarakat Indonesia yang memang teramat sangat menyukai romantisme, sehingga enggan/merasa sayang untuk mengganti penampilan menjadi lebih keren dan mengikuti zaman, atau persyaratan sebuah museum memang seperti itu. Seandainya semua museum di Indonesia sekeren Grand Place atau New England Museum gitu, sepertinya bayangan2 buruk tentang museum ini tidak perlu ada. :)

Entah jin iprit dari mana, yang akhirnya membuatku dan salah seorang teman tiba2 sepakat untuk mencoba wisata budaya ke museum2 di Jakarta awal bulan kemarin. Jakarta Kota yang terkenal memiliki banyak sekali museum, mungkin saja merupakan "Brussel-nya Indonesia". hahahahaha.... Kota museum. Dan eng-ing-eng.... yang terjadi, ya terjadilah.... Akhirnya kami (aku dan teman) pergi ke beberapa museum di Jakarta Kota, dan aku akan berbagi sedikit pengalaman disini.... ^_^

Kami mengawali perjalanan dengan bertemu di Stasiun Bogor. Dengan tiket kereta AC-Ekonomi seharga Rp.5.500 kami berdua melaju menuju Stasiun Kota Jakarta. Sambil menikmati perjalanan, kami mulai memilah, memilih, dan menentukan museum2 mana saja yang akan kami kunjungi hari itu. Untuk yang pertama, kami sepakat mendatangi Museum Bahari dan Menara Syahbandar yang terletak didekat Pasar Ikan.

Sesampainya di Stasiun Kota, kami sempat ragu dengan moda transportasi yang akan kami pilih. Demi mendukung niatan "wisata budaya" kami, maka kamipun memilih "Ojek Sepeda Onthel". Sempat terpikir untuk menyewa sepeda saja berdua, tapi karena malas berdebat siapa yang membonceng dan siapa yang di bonceng, jadi lebih adil kalau semua membonceng pada tukang ojek saja. Hanya dengan Rp. 5.000 kita sudah bisa nangkring di atas sepeda onthel sampai Menara Syahbandar, meski harus sedikit was2 karena tidak ada helm-nya :p

Menara Syahbandar

Memasuki pelataran menara tua ini, aku melihat ada beberapa bangunan yang berada dalam satu kompleks menara itu. Tetapi, hanya satu bangunan yang bisa kita masuki, yaitu Menara Syahbandar-nya. Bangunan lainnya adalah bangunan yang dulunya di gunakan sebagai tempat administrasi dan juga kantor pabean. Hari itu, menurut si bapak yang menjaga menara, cukup banyak pengunjung yang datang.

Kami membeli karcis seharga Rp. 2.000 untuk memasuki Menara Syahbandar, sekaligus masuk ke Museum Bahari. Mungkin karena rombongan di depan kami adalah para mahasiswa, maka kamipun di beri tiket mahasiswa (Positif thinkin' nya ya kami terlihat masih imut2 laksana mahasiswa. hehehe). Si bapak mengatakan pada kami bahwa ketika kami ke Museum Bahari nanti, kami tidak perlu lagi membeli tiket karena sudah merupakan tiket terusan. :)

Bangunan yang berdiri sejak tahun 1839 itu dulunya berfungsi sebagai menara pengintai/pengamatan untuk kapal2 yang datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Konon katanya, dulu titik nol kota Jakarta adalah di tempat itu. Menara ini terdiri dari 4 lantai. Kami langsung naik sampai mentog ke atas atap menara. Disana kami bisa melihat pemandangan sekitar pasar ikan yang ramai, padat, dan bangunan2-nya "Belanda Banget".

Aku sedikit berkhayal, rasanya enak juga lho berada di tempat yang (dulunya) adalah tempat yang di gunakan untuk mengawasi kapal2 di pelabuhan. Membayangkan sambil melihat ke arah laut, bagaimana suasana ketika kapal2 dagang berdatangan. Sedikit aneh saja karena tidak ada peralatan2 navigasi misalkan teropong atau sejenisnya :p

Dari menara, kita juga bisa melihat (boleh juga membayangkan) posisi2 sarana dan prasarana pelabuhan sunda kelapa jaman dulu. Di depan menara syahbandar, adalah Museum Bahari yang dulu merupakan bangunan untuk gudang. Di seberang jalan ada Galangan VOC yang merupakan galangan kapal untuk kapal2 yang rusak, namun sekarang galangan itu berubah menjadi cafe dan restourant. Sayangnya, aliran sungai yang mengalir di samping cafe itu sangat2 hitam, kemungkinan hitamnya lebih hitam daripada coffee yang di sediakan di cafe itu. :)

Bagian dalam menara itu sendiri tidaklah terlalu menarik, dalam artian tidak banyak barang yang ada di sana. Di lantai 4 kosong melompong, lantai 3 berisi poster2 sejarah perjalanan menara ini dari waktu ke waktu. Kalau di lihat dari cerita di poster itu, perubahan di menara tidaklah banyak. Hanya beberapa peralatan yang tidak lagi ada, seperti antena dan penangkap radar di atas bangunan pabean. Lantai 2 adalah pintu masuk yang rupanya juga merupakan tempat sebuah prasasti yang entah menggunakan bahasa apa. Lantai 1 rupanya merupakan penjara yang digunakan untuk menahan para penjahat, perompak, ataupun tahanan kapal. :p

Puas bernostalgia dengan Menara Syahbandar, aku dan teman akhirnya memutuskan untuk berpindah ke Museum Bahari. Jaraknya dekat sekali dengan menara, sehingga hanya perlu berjalan kaki. Karena kami telah membeli tiket terusan, maka kami tidak perlu membeli tiket lagi. Kamipun mulai menyusuri lorong demi lorong dari Museum Bahari yang memang berlorong2 itu. Terlalu kosong dan sepi untuk dibilang sebagai ruangan. :p

Museum Bahari

Pintu yang memisahkan ruangan/bangunan satu dengan yang lainnya bentuknya seragam, yaitu pintu beton yang melengkung di bagian atasnya. Model penataan pintu itu lurus, sehingga ketika daun pintu di buka, kita langsung bisa melihat bagian ujung lain bangunan. Aku menyukai susunan ini, terkesan sangat gamblang dan senyap. Disalah satu dinding yang sangat dekat dengan pintu masuk, aku membaca sebuah prasasti yang di tempel di tembok. Rupanya itu adalah lirik Lagu Nelayan Selat Madura. Jadi kepengen nyari lagunya di YouTube (dan nggak nemu).... :p

Ruangan yang pertama adalah ruangan yang berisi poster2 lawas mengenai sejarah Sunda Kelapa, Batavia, Jayakarta, dan Jakarta, beserta dengan tetek bengeknya. Ada juga cerita mengenai Sungai Ciliwung, dan beberapa cerita lainya. Beberapa lorong setelahnya adalah aneka rupa kapal yang pernah ada/masuk ke Indonesia. Bagus2 sekali miniatur kapalnya. Sulit di bayangkan pada masa itu sudah ada orang yang ahli membuat kapal yang begitu megah dan kuat untuk menjelajah.

Kamipun naik ke lantai 2. Di lantai 2, kami melihat ada contoh rempah2 yang dulu di perdagangkan yaitu cengkeh, pala, dan beberapa rempah yang lainnya. Ada juga beberapa macam fosil2 kerang dan binatang2 laut yang di awetkan. Selain itu, di ruangan itu juga terdapat sebuah miniatur Pulau Onrust yang terletak di Kepulauan Seribu. Rupanya jaman dulu pulau itu merupakan salah satu pulau terpenting untuk VOC. Dimana di sana banyak sekali bangunan2 yang di gunakan untuk berbagai kepentingan, salah satunya adalah karantina para calon Jema'ah Haji. Sayangnya, saat ini Pulau Onrust sudah banyak terkikis abrasi dan hanya meninggalkan beberapa puing2 bangunan saja (belum kesampean cita2 kesana). :(

Ruangan berikutnya banyak berisi komponen2 kapal mulai dari jaman jadul juga. Ada bagian lampu badainya saja, jangkarnya saja, pelampungnya saja, kemudinya saja, loncengnya saja, dan masih banyak lagi bagian2 yang lainnya.

Selain bagian2 kapal, ada juga beberapa macam alat penangkap ikan yang digunakan dari jaman dulu. Kebanyakan masih sama atau mirip, contohnya saja Bubu. Beberapa benda di pajang di atas meja, dan beberapa yang lainnya di pajang di dalam lemari kaca, mungkin agar tidak cepat rusak karena bahan pembuatannya.

Lanjut ke ruangan lain, dimana terdapat photo2 berbingkai yang di tempel di dinding. Banyak sekali photo2 yang ada di ruangan itu. Kebanyakan photo itu adalah photo2 saudagar/pedagang yang dulu datang ke Indonesia pada masa perdagangan. Karena aku dan teman sedikit mati gaya di ruangan itu, maka kamipun memilih untuk menggunakan lantainya sebagai tempat "ndelosor2" sambil photo2. :p

Kamipun melanjutkan perjalanan ke bangunan museum yang terletak di belakang. Namun sayang, tidak banyak lagi barang2 yang bisa kami lihat. Entah mengapa museum bahari ini menurutku sedikit kurang efisien. Mungkin karena memang dulunya museum ini adalah gudang untuk pelabuhan, maka bangunannya sangat luas dan tua sehingga banyak sekali ruangan nganggur. Karena terlalu luas itu, maka museum ini sangat terasa kosong. Satu ruangan besar hanya di isi beberapa benda, dan banyak juga ruangan yang kosong melompong. Mungkin sebaiknya segera di lakukan tata ulang untuk isi museum ini. (Pastinya minta dana pemerintah karena tidak akan cukup dari uang tiket) :p

Ketika kami berada di pelataran tengah museum, aku merasa sangat menyukai area itu. Entah kenapa sepertinya ada kenyamanan tersendiri berada di tengah2 bangunan tua itu. Berdiri di atas lantai paving block, di kelilingi tembok dengan jendela kayu tua dengan cat-nya yang telah mengelupas, dan paduan warna sejuk antara "cat dinding putih luntur, hijau jendela, coklat jendela, langit biru". wuidiiiihhhh.... :)

Toko Merah

Kamipun beranjak meninggalkan Museum Bahari dengan mengojek sepeda lagi. Kali ini kami akan melihat koleksi yang ada di museum2 di sekitar Stasiun Kota. Namun oleh tukang ojek sepeda (berdasarkan requets temanku itu), kami di antarkan terlebih dulu ke Toko Merah. Untuk sekedar berfoto saja tentunya, karena sekarang ini aku tidak tahu persis penggunaannya.

Konon katanya ketika VOC masih berkuasa, Toko Merah yang di bangun pada abad ke-17 (see... hampir 3 abad) ini pernah dijadikan sebagai kediaman Gubernur Gustaf Baron van Imhof, tempat AAL, dan juga pernah digunakan untuk guest house para pejabat. Toko ini dinilai sebagai salah satu saksi mata dari banyak sekali kejadian yang terjadi di sekitarnya.

Keren juga ini bangunan, semua-mua berwarna merah. Entah mengapa atau dengan alasan apa arsiteknya dulu mempertimbangkan sebelum membangun. Mungkin beliau sudah bisa menerawang bahwa ratusan tahun yang akan datang, akan ada orang2 narsis (seperti aku) yang akan sangat senang berfoto2 ria di depan bangunan2 antik & nyentrik. Karenanya beliau membuat bangunan unik dengan memilih warna merah untuk semua komponennya.... :p

Masih dengan ojek sepeda yang sama, aku dan teman melaju menuju tempat yang baru. Harganya sama juga ternyata dengan keberangkatan dari stasiun, cukup dengan Rp. 5.000 . Kami turun di depan Museum Wayang. Wuidiihh.... ramai benar siang itu. Banyak rombongan2 anak sekolah yang datang. Nampaknya aku lupa kalau menjelang hari jadi Kota Jakarta, museum2 membuka program untuk anak sekolahan. hahhahaha..... Mari bergabung bersama mereka.... :p

Museum Wayang

Kami tidak langsung masuk ke Museum Wayang, melainkan terlebih dulu bersantai dan mengaso di depan museum sambil menikmati lalu lalang orang. Ada sekumpulan anak2 remaja yang (sepertinya jaman sekarang sering di panggil Alay) duduk di depan pelataran dengan dandanan seragam, celana pensil yang melorot di pantat, tas gendong yang talinya panjang banget, gaya rambut yang khas banget, dan nggak ketinggalan handphone di tangan dengan jari yang aktif klik-klak-klik-kluk... :)

Ada juga beberapa orang yang berputar2 dengan sepeda onthel sewaan warna-warni, lengkap dengan topi meneer-nya. Ukuran sepedanya ternyata ada yang kecil juga lho..... Kapan2 aku dan teman memutuskan untuk mencoba, namun tidak hari itu. Pasti lebih keren karena kita akan bisa merasa menjadi meneer pada jaman belanda dulu, yang berkeliling kota sambil bersepeda :)

Banyak lagi aktivitas di tempat itu sehingga menambah hiruk pikuknya pelataran museum. Kebanyakan adalah bule bersama dengan pemandunya. Memang, nampaknya wisata museum ini lebih di gemari oleh bule2 ketimbang masyarakat Indonesia sendiri. Satu pemandangan yang cukup menarik perhatianku adalah sekelompok anak yang (sepertinya) sedang membuat film/video klip. Aku dan temanku memperhatikan gerak-gerik mereka, sampai dengan main tebak adegan. Kocak2 sekali tingkah anak2 itu. :p

Akhirnya kamipun masuk ke Museum Wayang, bergabung dengan pengunjung yang lain. Museum ini sudah tidak banyak "kesan belandanya". Hanya di bagian luar dan beberapa bagian di dalam yang masih terlihat "Belanda banget". Tetapi secara keseluruhan, sudah lebih modern.

Banyak sekali etalase2 kaca yang di gunakan untuk menampilkan berbagai jenis wayang. Wayang golek, wayang kulit, wayang orang, sampai dengan ondel2 juga ada di sana. Wayang2 dari berbagai daerah di Indonesia, di simpan di sana lengkap dengan keterangan2nya. Selain itu, banyak juga patung2 yang menggambarkan tokoh2 pewayangan seperti Hanoman, Gatot Kaca, dll.

Di setiap etalase, ada keterangan2 yang menyebutkan informasi mengenai nama, asal, peran, dan informasi2 yang lainnya. Aku sempat melihat di museum itu ada pemain "si unyil" lengkap. Masih ingat kan siapa Unyil? Sewaktu aku masih kecil, di TVRI si Unyil sering diputar dan menjadi tontonan wajib anak2. Unyil, Usrok, Pak Ogah, Mbok Bariah, dll. Jadi berasa bernostalgia senja gitu deh.... :P

Selain wayang dalam negri, banyak juga wayang2 yang berasal dari luar negri. Menurut temanku, wayang2 dari luar negri itu ada yang di bawa oleh tamu negara sebagai oleh2 untuk Presiden Indonesia ketika datang ke Indonesia, dan ada juga yang merupakan cideramata ketika Presiden bertandang ke negara lain. Ada wayang dari berbagai benua mulai dari Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika. Semua dengan ciri dan keunikan masing2.

Museum Wayang rupanya juga menampilkan aneka topeng, gamelan, ondel2, dan beberapa benda yang mendukung pewayangan. Menyenangkan sekali rasanya melihat benda2 unik seperti itu dilestarikan dan diperhatikan keberadaannya. Jadi, nanti anak cucuku akan tetap bisa melihat wayang dari jaman ke jaman. :)

Dalam perjalananku bersama teman waktu itu, kami menemukan beberapa lokasi di dalam museum yang sedikit aneh (menurut kami). Menurutku dan temanku, tempat2 itu sedikit nyeleneh dan tidak lazim penempatannya. Contohnya adalah sebuah pilar yang dipasang di tengah2 ruangan, yang akhirnya justru menyebabkan beberapa miniatur wayang tersembunyi. Ada juga tembok pembatas yang tiba2 muncul membelah pilar dengan potongan gambar yang tidak wajar. Akhirnya kami menggunakannya sebagai studio photo saja. hahahhaha

Untuk masuk ke museum wayang ini, harganya sama murahnya dengan museum2 yang lain. Cukup dengan Rp. 2.000. Karena kunjungan pertamaku bersama teman waktu itu sangat singkat, sepertinya aku harus ke museum itu lagi kapan2. :p

Setelah dari museum wayang, perjalananku bersama temanku berlanjut ke Museum Keramik dan Museum Bank Indonesia. Tapi aku mau istirahat dan bernafas dulu yaaaa.... Udah panjang banget kayaknya tulisan ini. hahahahhaa.... Akan di lanjutkan pada kisah selanjutnya. :))

Beberapa museum tidak dapat kami kunjungi hari itu, karena waktu berlalu begitu cepat. Kamipun sepakat untuk melanjutkan wisata budaya itu di lain waktu.... ^_^

Thanks ya mbak Ana "Meleng" untuk wisata budaya sehari-nyaaaaa :p


Get There

Pengen ikut merasakan seni-nya berwisata budaya ke museum2 di Jakarta Kota?? Gampang dan murah koq caranya..... Tinggal disesuaikan starting point-nya saja. Bisa naik kereta, busway, metromini, bajaj, atau ojek, yang penting berhenti di Stasiun Kota. Kalau sudah sampai di Stasiun Kota Jakarta, baru deh semua menjadi "sama". hehehehe
* Untuk yang dari Bogor : Bisa memilih kereta AC Ekonomi jika ingin mendapatkan kenyamanan dengan harga relatif murah, Rp. 5500. :)

Dari Stasiun Kota menuju Menara Syahbandar, di sarankan naik ojek sepeda onthel, agar kesan wisata ala jaman dulunya lebih terasa. Kita hanya perlu menyebutkan nama "Menara Syahbandar" atau "Museum Bahari", maka tukang ojegnya akan langsung membawa kita kesana. Harga ojek sepeda sampai dengan menara sama rata koq, yaitu seharga Rp. 5000. Begitu juga ojeg dari menara sampai Museum Wayang, Rp. 5000 juga. Dari Museum Wayang dsk menuju Stasiun Kota sih kita jalan kaki saja karena jaraknya tidak begitu jauh.

Tiket masuk museumnya, murah meriah sodara2. Menara Syahbandar+Museum Bahari (Rp. 2000-3000) tergantung apakah masih (terlihat)mahasiswa atau umum, sedangkan Museum wayang cukup dengan Rp. 2000.

Murah meriah kan?? Jadikan museum2 ini sebagai alternatif tujuan wisata kalian selanjutnya yaaaaa .... [Wilis J]


Read Users' Comments (0)